Sabtu, 22 Desember 2012

Status ~Part 4

Tira berjalan sendiri di tepi pantai yang sangat indah. Airnya jernih sekali. Pasir putih lembut menopang kakinya. Ia senang sekali berada di pantai ini. Ia seperti merasakan ada di surga kali ini. Senyum indah merekah di bibirnya. Ia berjalan terus, berjalan menikmati indahnya pantai. Ia mengira hanya ada dia seorang di pantai indah ini. Namun, semakin jauh Ia berjalan, dilihatnya siluet seorang lelaki yang sangat dikenalnya. Ya, Putra. Ia begitu gagah dengan baju putihnya.

Putra berjalan mendekat ke arah Tira. Hingga datang seorang gadis memakai dress putih selutut berlari dari belakang Putra. Ia menarik tangan Putra. Putra melihat ke arah gadis itu. Gadis itu mengajaknya pergi menjauhi Tira. Awalnya Putra ragu, tapi gadis itu meyakinkannya. Dan Putra akhirnya berbalik dan mengikuti gadis itu.

Tira mencoba berlari mengejarnya. Tapi semakin kencang Tira berlari, bayangan Putra semakin jauh meninggalkannya. Ia menangis. Ia masih saja berlari hingga bayangan Putra tak tampak sama sekali. Ia menangis. "Raaaa! Raaaaa! Putraaaa!!"

***

"Raaa! Raaa! Putraa!" Tira berteriak teriak dalam mimpinya. Orang tua Tira segera mendekatinya yang kini sedang berbaring di ranjang putih rumah sakit. Ya, Ia sedang dirawat sekarang. Karena kecelakaan waktu itu membuatnya shock dan harus dirawat. Kakinya terluka cukup parah karena sempat terinjak-injak oleh fans Tira kala itu.

"Tira, mama di sini. Yuk bangun yuk." Air mata perlahan sudah keluar dari pelupuk mata Rossa, Ibunda Tira. Rio, Ayah Tira, segera merangkulnya. Tangannya masih memegang lembut tangan Tira.

Sudah satu minggu Tira koma. Setiap malam Ia selalu memanggil manggil Putra. Ya, Putra tak pernah bisa membesuk Tira, karena Ia sedang sibuk dengan orkestranya, Ia hanya mengantarkan Tira ke rumah sakit saat kecelakaan itu terjadi. Tapi setelahnya Ia tak pernah lagi datang ke rumah sakit. Selain karena orkestranya, ini juga karena Lily yang selalu bisa menghalanginya untuk pergi ke rumah sakit.

Selama rentang waktu tujuh hari ini, Rossa sudah berkali kali menghubungi Putra agar bisa datang. Tapi, Ia selalu saja punya alasan yang cukup kuat untuk menolaknya.

Kini Rio sudah tak tahan lagi dengan sikap Putra. Ia bermaksud untuk pergi ke studio Putra. Segera Ia mengambil kunci mobilnya dan tanpa pamit kepada Rossa, langsung saja ia berjalan keluar dan menyalakan mobilnya.

***

Sekarang pukul 07:35 PM, Rio yakin Putra masih ada di studio nya. Sebab, Rossa selalu menelpon Putra sekitar jam 7. Dan saat itu Putra selalu berkata bahwa ia sedang sibuk menyiapkan komposisi baru untuk orkestranya.

Setelah sampai di pintu studio, Rio yakin bahwa pintunya tak dikunci, langsung membuka pintu itu. Seorang yang sepertinya rekan kerja Putra menyambut kedatangan Rio yang tiba-tiba.

"Maaf, Pak. Tapi Putra sedang tidak bisa diganggu. Karena dia sedang sibuk sekali." Lelaki itu menghalangi Rio. Tapi Ia seakan tak mendengar malah langsung saja masuk ke ruang kerja Putra.

Pintu yang lagi lagi tak dikunci langsung dibuka oleh Rio. Langsung ditangkapnya pemandangan tak menyenangkan. Putra yang sedang sibuk mencoret coret partitur di depannya tak merasa terganggu dengan seorang gadis yang duduk di pegangan kursi dan merangkul mesra Putra.

Mereka terkejut saat mengetahui siapa yang datang. Putra segera berdiri dan berniat untuk menyapa Rio dengan ramah.

"Ooh. Ternyata kamu sibuk bercumbu ya di sini. Wah kasihan sekali anak semata wayang saya yang sudah seminggu tak sadar dan terus memanggil nama seorang bajingan seperti kamu!" Putra yang masih kaget hanya terdiam melihat Rio yang sudah berjalan keluar dengan kesal.

Putra hendak berjalan keluar bermaksud untuk pergi menemui Tira, malah ditahan oleh tangan halus Lily. Ia resah dan langsung melepaskannya dengan kasar.

Putra segera masuk ke mobilnya dan langsung mengunci pintu mobilnya. Ia tahu bahwa Lily pasti akan ikut bersamanya. Sebelum Lily sampai ke mobil Putra, juke merah itu sudah melesat kencang meninggalkan Lily di sana.

***

"Raaa! Raaa!" Tira kembali menggigau menyebut nama Putra.

Putra yang baru melangkahkan kaki di ruang tempat Tira dirawat, bergerak menuju ranjang. Ia menggenggam tangan Tira yang kini sangat dingin dan pucat. Ia dapat merasakan rasa sakit Tira. Ia sangat menyesal kenapa selama ini tidak datang membesuk Tira.

"Raa. Aku di sini. Bangun yuk. Raa?" Putra membisikkan kalimat itu ditelingan Tira. Ia hampir saja menangis saat berselang setengah jam dan Tira masih belum bangun juga.

Tangan hangat Putra kini sudah tak bisa menghangatkan tangan Tira. Malah yang ada tangan Putra yang mendingin sekarang.

Rossa dan Rio yang dari tadi hanya memperhatikan Putra kini bermaksud untuk keluar agar tak mengganggu usaha Putra.

Putra yang sudah mengambil tempat duduk, dan duduk disamping Tira sambil masih menggenggam tangan Tira kini mempererat genggamannya.

Satu jam berlalu, Tira masih tak menunjukkan tanda tanda Ia akan bangun. Putra akhirnya tertidur di ruang rawat inap ini.

Jam yang ada bergantung di dinding ruang VIP ini sudah menunjukkan pukul 01:37AM. Putra sudah terlelap dengan kepalanya ditopang di atas ranjang.

"Raa." Terdengar suara halus Tira yang langsung membangunkan Putra. Segera ia meluruskan posisi kepalanya yang sudah nyeri karena posisi tidurnya yang asal. Dilihatnya mata Tira sedikit demi sedikit terbuka. Seulas senyum tampak di bibir pucat Tira.

Putra langsung memeluknya saking senangnya. "Akhirnya kamu bangun juga Ra. Gimana? Enak istirahat satu minggunya?" Putra masih bisa membuat lelucon saat ini. Ya, itu yang dibutuhkan Tira agar sembuh.

"Seminggu? Rasanya seperti hanya satu jam, Ra. Bener seminggu? Wah enak ya rasanya tidur seminggu." Tira sangat santai mengucapkan kalimat itu.

"Iya kamu enak. Tapi kami yang cemas karena kamu gak bangun bangun." Sekarang Putra memasang tampang seakan akan Ia marah. Padahal Ia sendiri baru mencemaskan Tira malam ini. Selama seminggu lalu Putra tak pernah terlihat cemas sedikitpun. Malah hanya sibuk dengan komposisinya.

"Haha. Maaf maaf."

***

Putra kini sudah tak terlalu memikirkan orkestranya. Lily pun sudah diabaikannya. Karena Ia sudah tahu bahwa perasaannya ke Lily bukan apa-apa. Dan keberadaan Lily hanya mengganggu hubungannya dengan Tira. Ia sekarang fokus untuk menemani Tira dalam masa pemulihannya. Tira masih harus berjalan dengan bantuan tongkat. Kakinya masih belum pulih sempurna.

Sore ini pukul 05:00PM. Putra mengajak Tira untuk berjalan jalan sejenak ke taman kota. Ia ingin menyenangkan hati Tira agar ia bisa segera kembali beraktivitas seperti biasa. Dan kembali melanjutkan syuting filmnya.

Ya, film yang dibintangi Tira terpaksa diundur proses syutingnya. Karena memang Tira adalah pemeran utama dari film itu. Pihak PH (Production House) tidak berniat untuk mengganti pemain karena mereka sudah merasa sangat cocok dengan Tira. Tira memang sangat profesional dalam menjalankan tugasnya. Sikap itulah yang selalu disenangi setiap PH yang menjadikan Tira sebagai bintangnya.

Tira dan Putra kini sudah duduk santai di taman. Ditemani awan mendung yang bersahabat. Tak hujan dan juga tak panas. Mereka kini sedang berbincang ringan sambil melihat anak anak kecil yang bermain main riang di depan mereka. Tira sangat senang melihat anak kecil. Ia merasa sangat hidup kali ini.

Di kejauhan, Lily melihat mereka dengan mata tajam. Tampak sekali ketidak senangannya melihat mereka berdua. Diam diam Ia sudah merencanakan sesuatu untuk mencelakakan Tira.

"Ra. Balik yuk. Udah sore nih." Tira langsung mengiyakan ajakan Putra. Tira juga sudah kedinginan di sini. Mereka berjalan menuju mobil Putra dengan lamban.

Lily yang daritadi memperhatikan mereka kini masuk ke dalam mobil yang disewanya. Ia sengaja tidak memakai mobilnya kali ini. Ya, otak jahatnya bermain sekarang. Tak ada Lily yang baik hati lagi setelah ia menemukan sesuatu yang bernama cinta. Cinta itu sudah membutakan mata Lily seutuhnya.

***

Putra membawa mobilnya dengan laju sedang. Putra tidak memakai safety belt karena Ia sudah terbawa perbincangan dengan Tira. Sambil masih berbincang dengan Tira, matanya tak pernah berpaling dari jalan. Hingga ia melihat sebuah mobil yang datang dari arah berlawanan hendak menabraknya. Ia langsung saja membanting setirnya. Tapi celakanya mobil itu malah menyerepet mobilnya hingga terpental ke trotoar dan menabrak pohon.

Putra yang tak memakai safety belt langsung terpental ke setir. Entah kenapa air bagnya tak berfungsi kali ini. Kepala Putra yang terkena setir langsung mengeluarkan darah segar. Ia seketika pingsan.

Tira, yang selamat karena memakai safety belt dan memang sikap Tira yang sayang pada dirinya, shock melihat Putra hanya terpaku. Ia masih duduk di mobil yang sudah mengeluarkan asap tebal di bagian depan.

"Raaa! Putraaaaa!! Raaa! Bangun Raaa! Raaaa!"

~to be continue...

Rabu, 19 Desember 2012

Status ~Part 3

"Eh Raa. Kok lo di sini? Bukannya tadi..."

"Cewek ini siapa, Ra?" Tira bukannya menjawab malah langsung memotong perkataan Putra, yang kini sedang bingung sendiri dengan keadaan yang Ia hadapi.

"Ooh ini, Lily. Lilyana. Aku kenal dia tadi pas nyari kado buat mama, Ra. Dia nawarin buat bantu aku milih kado mama." Tira baru ingat bahwa memang dua hari lagi orangtua sahabatnya ini ulang tahun yang ke 40. Ia merasa patut dihukum atas kekhilafannya ini. Tapi Ia tak mau menjadi malu setelah marah marah tak karuan.

"Kenapa gak ngajak aku?" Oke kali ini pertanyaan Tira memang bodoh sekali. Jelas jelas Ia tadi pergi dengan Arman setelah Putra menunggunya selama satu jam.

"Ra, kamu lupa tadi kamu pergi sama Arman?" Putra sekarang memasang tampang kamu-cemburu-yaa?

Tira kikuk. Ia masih tak mau mengalah. Malah mencari alasan lain.

"Tapi tadi kamu gak bilang kalau mau nyari kado buat mama. Kalo kamu bilang kan aku pasti bakal nemenin kamu. Kamu bohong kan ya tadi bilang cuma mau pulang bareng aja. Ya aku lebih milih pulang bareng Arman lah, Ra." Oke, Tira menang kali ini. Putra tak bisa berkata apa-apa. Dia memang salah karena sudah berbohong yang tak penting seperti itu. Sekarang suasana malah hening tapi tegang.

"Ehm. Shatira Vannesa? Gue Lilyana. Gue fansnya Haekal. Makanya tadi gue seneng banget bantu dia. Sorry ya kalo gue malah bikin masalah di sini." Lily sekarang menyodorkan tangannya untuk berkenalan. Tira yang sudah melunak dan tahu siapa yang salah saat ini membalas salam Lily. Ia kini melirik sinis ke arah Putra.

"Iya iya sorry deh. Gue yang salah. Lo udah dijemput?" Putra mengakui kesalahannya dan berniat untuk menebusnya dengan mengantarkan Tira pulang.

"Tadi sih gue udah sms Pak Juki buat jemput. Tapi belum ada tanda tanda kedatangannya." Tira kini melirik handphonenya.

"Eh, gue pamit duluan ya. Sorry ya, Hae. Udah bikin Tira salah paham sama lo. Senang bisa kenal kalian. Marii." Lily kini sudah beranjak menjauh dari kedua sahabat baik ini. Dan berjalan menuju basement.

Tira kini sudah memilih opsi call di handphone-nya setelah menemukan nomer handphone Pak Juki. Nada tanda panggilan tersambung sudah terdengar daritadi. Tapi tak ada jawaban. Baiklah. Kali ini Tira akan menjadikan kesalahan Putra sebagai alibi agar Putra mengantarkannya pulang. Padahal Putra memang sudah berniat untuk itu.

"Yaudah yuk." Tira yang masih sibuk untuk menghubungi Pak Juki sekarang sudah ditarik lembut oleh Putra. Ya, kali ini Ia tidak melepaskan pegangan Putra. "Anggap aja ini permintaan maaf aku ke kamu."

***

Setelah bel berbunyi. Dan guru yang mengajar pada jam terakhir sudah meninggalkan kelas. Arman langsung berdiri di depan pintu dan menutupnya. Menahan semua anggota kelas untuk keluar dari ruang kelas. Entah apa yang ada dipikirannya.

Sekarang Ia berjalan ke tengah kelas dan memerintahkan anggota kelasnya untuk duduk kembali. Mereka yang tidak senang sebenarnya tetap menuruti perintah sang ketua kelas.

"Oke. Kalian gue suruh ngumpul dulu karena, sekolah bakal ngadain lomba kebersihan kelas. Jadi hari ini kita semuanya bersih-bersiih. Ayo mulai!" Perkataan yang lebih seperti perintah itu ditanggapi dengan teriakan tak senang seluruh anggota kelas. Seketika sekarang kelas menjadi riuh. Arman sudah mengunci pintu dari dalam agar tak ada yang keluar dari kelas.

Tira yang sudah berjanji dengan Putra untuk ikut merayakan acara ulang tahun orangtua Putra sangat tidak setuju dengan perintah Arman yang tiba-tiba ini. Langsung Ia berjalan ke arah Arman yang makin lama makin menjengkelkan.

"Ar. Lo gak nyante banget sih. Gue udah ada janji nih. PENTING! Lombanya itu kan masih satu minggu lagi, Ar. Lo jangan lebay gini dong. Tau gini nyesel gue milih lo jadi ketua kelas. Mendingan dulu gue milih Reyhan deh." Reyhan, kutu buku kelas yang selalu ribet sendiri dengan kacamata tebalnya.

"Tira. Emang sepenting apa sih acara lo itu? Apa lebih penting dari acara sekolah?" Arman kini malah memasang tampang yang bisa membuat Tira melayangkan tinju kemukanya. Sekarang tangannya sudah dikepal erat saking kesalnya.

"INI PENTING BANGET AR!!! PLEASE JANGAN RESE GINI DONG!" Tira yang sudah gemas tak bisa menahan amarahnya.

"Yah batalin aja dulu. Kan bisa kapan kapan acarnya." Santai sekali Arman berkata seperti itu. Malah harusnya acara bersih bersih mendadak ini yang bisa dibatalkan. Sekarang Ia malah meninggalkan Tira dan berjalan menuju anggota kelas yang belum bergerak untuk membersihkan kelas. Ia kini kembali memerintahkan anggota kelasnya dengan otoritas bak seorang penjajah.

Satu persatu anggota kelas mulai bergerak untuk membersihkan kelas. Tira tidak mau ikut serta melakukan perintah seenak jidat Arman. Ia kini duduk di pojok kelas dan menghubungi Putra bahwa Ia tak bisa ikut meramaikan acara ulangtahun ibunda sahabatnya itu.

***

Putra yang sudah resah menunggu Tira dari tadi kini tampak begitu kecewa. Ia hendak melempar handphonenya saking kesal dengan ketua kelas otoriter itu, tak jadi melakukannya karena handphonenya berdering tanda ada panggilan masuk. Tanpa membaca nama penelpon terlebih dahulu. Ia langsung saja menjawab panggilan itu.

"Iya. Siapa?" Pertanyaan itu langsung terlontar dari mulutnya. Terdengar sekali nada kesal dari suaranya.

"Ini lily, Hae. Lo gak baca dulu sebelum jawab? Lagi kesel ya? Gue lagi bosan nih. Eh orangtua lo ulang tahunnya sekarang kan? Boleh gue ikut?" Bak dewi penyelamat mood seseorang. Lily datang di saat yang sangat tepat. Saat Putra membutuhkan seseorang untuk memperbaiki moodnya.

"Iya? Bener? Yuk sini. Acaranya di rumah gue. Lo tau?" Putra kini sudah memasang senyum terbaiknya tanpa Ia sadari. Entah apa yang membuat dia begitu senang saat ini. Mungkin karena Lily?

"Tau dong. Gue kan fans sejati lo. Haha. Gue kesana ya."

***

Setelah lepas dari kurungan Arman. Tira sudah dijemput managernya. Ia akan menjadi bintang tamu di sebuah talkshow. Ini menyebabkan Tira tak bisa datang sama sekali ke acara ulangtahun orangtua Putra.

Ya, Tira memang sangat royal terhadap karirnya. Walaupun sudah letih di sekolah, Tira tetap akan pergi ke acara itu. Ia langsung berangkat menuju lokasi tanpa pulang terlebih dahulu. Ia bermaksud untuk membersihkan diri di lokasi talkshow saja. Karena memang sudah tak ada banyak waktu lagi sebelum acara dimulai.

Tira sudah tidak merasa bersalah lagi setelah berkali kali meminta maaf pada Putra atas kealfaannya di ulangtahun orang penting dalam hidup Putra itu. Putra dengan santai menjawab tak masalah. Ya, tak masalah baginya karena sekarang sudah ada Lily.

***

Tira kini disibukkan dengan syuting film terbaru nya. Di film ini, Ia berperan sebagai seorang yatim piatu. Film ini memang diangkat dari kisah nyata seorang anak yatim piatu yang berjuang demi melanjutkan hidupnya dengan baik. Hingga akhirnya Ia menjadi seorang yang sukses tanpa orang tua setelah melewati lika liku kehidupan yang panjang.

Film ini memilih daerah pedesaan sebagai latarnya. Otomatis Tira sudah meninggalkan kota metropolitan tempat Ia dilahirkan. Ia akan syuting di sana kurang lebih satu minggu. Ya, Ia tak akan bertemu dengan Putra selama jangka waktu itu. Dan jika sempat berhubungan melalui media suara. Itu hanya bisa Ia lakukan pada malam hari. Saat tidak ada aktivitas syuting lagi.

***

Sementara itu, Putra yang sedang sibuk dengan orkestranya, tak pernah kesepian. Karena selalu ada Lily yang menemaninya. Lily sepertinya sudah jatuh cinta kepada Putra. Ia rela meninggalkan aktivitasnya demi bertemu dengan Putra.

Sedangkan Putra? Entahlah. Ia tak yakin apa yang dirasakannya. Ia memang sangat senang berhubungan dengan Lily. Tapi kini perasaannya hanya sekedar itu. Ia tak tahu bahwa Lily berharap lebih dari dia.

***

Tira sudah menyelesaikan syutingnya di desa terpencil yang masih asri itu. Kini syuting dilanjutkan ke kota. Karena memang ceritanya, gadis yang diperankan Tira sudah beranjak dewasa dan bermaksud untuk mengadu nasib di kota.

Tira menyempatkan diri untuk makan di restaurant jepang langganannya. Ia rindu masakan di sana katanya.

Tira yang selalu memakai kacamata hitam jika Ia pergi sendirian di tempat umum, kini sudah hampir mendekati restaurant itu.

Saat ia memasuki restaurant, keberadaan Putra langsung dapat ditangkap oleh matanya. Ia dengan seorang gadis, yang sepertinya Lily. Mereka tak duduk berhadapan. Melainkan bersebelahan.

Tira tak mau salah memprediksi dulu. Ia kini mencari meja yang strategis untuk memperhatikan mereka berdua.

Awalnya mereka hanya mengobrol biasa. Tapi lama kelamaan mereka tertawa bersama. Entah apa yang mereka tertawakan. Tira masih memakluminya.

Setelah berselang lima menit, Tira yang sadar Ia belum memesan apa apa dan sudah ditatap sinis oleh pelayan restaurant, sekarang Ia mengambil asal sushi yang ada di meja putar. Padahal itu adalah sushi yang paling ia tidak sukai. Tanpa melihat ke piring, Ia langsung saja memakan sushi itu.

Tira tak bisa merasakan bagaimana rasa sushi itu. Ia terlalu fokus memperhatikan Putra dan Lily. Jika dalam keadaan biasa, Tira bisa langsung memuntahkan sushi itu.

Kini matanya makin tajam saat perlahan Lily mendekatkan duduknya ke Putra. Dan perlahan tangannya menggandeng tangan Putra. Tira makin dibuat terkejut setelah Putra tak melepaskannya malah mempererat gandengan Lily itu.

Mata Tira semakin sakit setelah kini Putra mengeluarkan sebuah kotak perhiasan. Yang bisa ditebak bahwa isinya adalah sebuah kalung.

Tira tak tahan. Ia kini sudah menangis. Kacamatanya tak membantu menutupi air matanya. Saat Ia membuka kacamatanya untuk membersihkan air matanya. Tak sengaja seorang fans melihatnya dan langsung berlari kearah Tira bermaksud untuk mengobrol dengan Tira.

Awalnya Tira santai menanggapinya. Tapi lama kelamaan kerumunan orang ini makin banyak dan Tira sudah resah dan sesak karena kerumunan orang ini. Bermaksud untuk bergerak pergi, Tira malah tersandung oleh kaki seorang fans.

Tangannya berusaha menahan berat badannya. Tapi yang ada malah kerumunan tadi makin menyesak. Tira terjatuh dengan pipinya menyentuh lantai restaurant yang terbuat dari kayu. Kakinya malah terluka terkena ujung paku yang ada dilantai kayu itu.

Tira tak bisa merasakan apa apa. Ia hanya melihat kegelapan sekarang. Kerumunan makin menyesak. Hingga samar Tira mendengar suara sahabat baiknya.

"Tiraaaaaaaaa!!!!!" Suara itu semakin samar didengarnya. Hingga Ia tak bisa mendengar apapun.

~to be continue...

Senin, 17 Desember 2012

Status ~Part 2

"Tir, pulang bareng yuk." Arman langsung melontarkan kalimat itu tanpa memperhatikan seseorang-di-sebelah-Tira-yang-sudah-menunggu-satu-jam. Santai sekali nada bicaranya. Seakan Ia tidak berbuat dosa sedikit pun.

Putra sebenarnya ingin mengajak Tira mencarikan kado ulang tahun untuk ibunya, yang memang tinggal dua hari lagi. Ia tidak tahu mau mengajak siapa selain Tira. Karena teman dekat perempuan yang dia punya hanyalah Tira. Tidak mungkin Putra mengajak teman sebangkunya, Ivan, untuk membeli kado ibunya. Bisa bisa ia malah mengusulkan untuk membelikan skateboard nanti.

"Ra." Putra memanggil Tira dengan tatapan aku-butuh-kamu-dan-udah-nungguin-kamu-dari-tadi.

"Eh iya. Tunggu. Arman, lo ngapain tumben ngajak gue pulang bareng?" Tira langsung melayangkan pertanyaan itu karena dia sendiri bingung dengan situasi ini.

"Gini, Tir. Lo kan sekretaris kelas. Nah, Bu Tika nyuruh gue buat bikin surat izin untuk acara kita, Tir. Lo inget kan? Kunjungan universitas itu, Tir. Lo tau sendiri gue gak ngerti gimana caranya kan? Jadi bantuin gue ya. Ya? Kita bikinnya sambil santai aja di coffe shop langganan gue. Ya? Please." Arman memohon dengan sungguh sungguh.

"Oke. Sekarang, Ra. Kamu ngapain mau pulang bareng aku?" Kini giliran Putra yang diinterogasinya.

"Gak ada sih. Aku cuma kangen ngobrol aja sama kamu." Putra sengaja berbohong. Karena menurutnya urusan Arman lebih penting. Yah biar kali ini Ia mengalah saja. Lagipula kan masih ada hari esok.

"Yaudah. Jadi Ra, gakpapa kan kalo aku pulang sama Arman? Sorry ya udah bikin kamu nunggu eh malah jadi gini. Sorry ya Raa." Tira minta maaf sungguh sungguh.

"Yah gakpapa, Ra. Aku balik dulu ya. Dah. Hati hati ya." Putra langsung saja berjalan menuju Nissan Juke merahnya. Tanpa berbalik melihat Tira lagi.

"Yaudah yuk jalan." Arman santai saja langsung menarik tangan Tira, yang langsung dilepas secara halus oleh Tira.

***

"Nah, udah sampe nih. Yuk turun." Setelah memarkirkan mobilnya dengan mulus di depan coffe shop langganannya. Arman langsung turun sebelum Tira selesai membereskan tasnya. Dan Ia langsung membukakan pintu mobil untuk Tira. Ia memperlakukannya seperti tuan putri saja. Ini malah membuat Tira resah.

"Apaan sih Ar? Gue kan bisa buka sendiri tau." Tira memasang muka sebalnya. Ia memang tak suka diperlakukan istimewa, sekecil apapun, oleh orang yang tidak terlalu dekat dengannya.

"Sorry, kan gue cuma memperlakukan lo dengan baik soalnya lo udah mau bantuin gue. Udah yuk masuk." Kini Arman malah langsung menarik tangan Tira-yang lagi lagi langsung ditepis halus oleh Tira. Ya moodnya sudah berubah buruk sekarang.

"Santai aja Ar. Gue gak suka." Terdengar sekali nada tak senang dari mulutnya. Ia benar benar sudah tidak dalam mood baik sekarang.

Akhirnya, bukan membuat surat tapi Tira hanya mencoret coret kertas yang ada di depannya. Arman yang tak memperhatikan itu malah terus mengajak Tira mengobrol-yang walaupun kadang tak diresponnya.

"Rese banget sih nih orang." Pikirnya. "Hmm. Ar. Kayanya ini gak bakal selesai selesai deh. Mending gue bikinnya di rumah aja. Tar gue kirimin ke email lo buat lo perbaiki. Gampang kan?" Tira langsung berdiri dan berjalan keluar. Ternyata Ia sudah menghubungi Pak Juki daritadi untuk menjemputnya. Dan kini lelaki paruh baya itu sudah mendarat di depan coffe shop yang dikatakan Tira.

Segera Tira masuk ke dalam mobil tanpa pamit pada Arman, bahkan melihat sekilas saja tidak.

***

Putra sedang berjalan memutari sebuah mall di kawasan pusat kota. Niatnya ingin mencari kado untuk ibunda tercintanya. Tapi yang Ia lakukan daritadi hanyalah berputar-putar tanpa tahu kemana Ia akan berjalan. Ia seperti orang kebingungan. Bahkan SPG salah satu toko sudah hafal dengan mukanya dan tahu berapa menit lagi Putra akan melewati tokonya.

Ia masih saja berputar hingga akhirnya memilih untuk memasuki sebuah toko perhiasan emas putih. Ia melihat-lihat dan menebak kira kira mana yang akan disukai ibunya.

Karena terlalu serius memperhatikan perhiasan perhiasan cantik itu, Ia sampai tak tahu bahwa ada seorang gadis yang juga sedang memperhatikan perhiasan perhiasan itu dengan fokus. Dan akhirnya...

Bruk.

Mereka berdua bertabrakan dan hampir kehilangan keseimbangan masing masing.

"Maaf." Mereka berkata secara bersamaan dengan kepala yang sama sama menunduk tanda menyesal. Putra segera menatap ke depan. Dan gadis itu juga.

"Ini benar benar awkward." Pikirnya.

Gadis itu tersenyum kepadanya. Dan memasang tampang sepertinya-gue-kenal-lo. Yang langsung dibalas tatapan bingung dari Putra.

"Eh, lo Haekal Putra itu kan? Komposer terkenal itu kan? Waah seneng banget bisa ketemu lo gak sengaja kaya gini. Gue seneng banget loh denger instrumen-instrumen lo. Dan waktu konser lo itu gue dateng loh. Lo keren banget." Wajah gadis ini antusias sekali. Sepertinya Ia tahu segala seluk beluk kehidupan Putra dan berniat untuk mengkoreknya lebih jauh.

"Iya. Gue Haekal. Wah makasih ya udah suka sama karya gue. Misii." Putra -Ia lebih dikenal dengan Haekal daripada Putra, nama Putra sendiri hanyalah panggilan seenak jidat Tira- berniat untuk menjauh dari salah satu fansnya ini dan kembali melihat lihat perhiasan yang terpajang cantik di lemari kaca di depannya.

Gadis itu bukannya pergi malah ikut memperhatikan apa yang sedang dilihat Putra. "Lo lagi nyari perhiasan buat nyokap lo ya?" Ia kaget kenapa gadis ini bisa tahu secepat itu.

"Memangnya jelas banget kalo gue ini seorang jomblo yang gak bakal ke toko perhiasan kecuali membelikan nyokap perhiasan?" Seketika Putra merasa kasihan pada dirinya sendiri.

"Iya. Kok lo bisa tahu?" Putra yang penasaran -sekaligus memastikan apa benar tampangnya seperti jomblo ngenes?- langsung saja melayangkan pertanyaan itu.

"Bukan gimana gimana sih, cuma gue kebetulan pengamat perhiasan gitu. Mau gue bantuin milih?" Gadis itu menawarkan bantuan.

Putra langsung senang mendengar tawaran itu-sebenarnya Ia senang karena Ia tahu ternyata tampangnya tidak terlalu mencerminkan seorang jones (jomblo ngenes).

"Wah makasih banget udah mau bantuin gue. Eh kita belum kenalan resmi. Gue Haekal." Putra menyodorkan tangannya, tanda ingin menjalin hubungan baik dengan gadis ini.

"Gue Lily, Lilyana." Gadis itu, Lily, menyambut tangan Putra dan bersalaman.

"Nah, Ly. Kalo buat ibu-ibu umur empat puluhan gitu bagusnya ngasih yang mana sih?" Kini Putra kembali memberhatikan deretan emas putih cantik itu.

"Yah kalo menurut gue sih lebih baik lo beliin kalung aja. Trus bagusnya kalung yang liontinnya itu dengan desain rumit dan anggun gitu. Soalnya yang kaya gitu cocok buat jiwa ibu-ibu sih. Nah coba deh liat ini. Lo bayangin nyokap lo make kalung simple kaya gini. Ini gak bakal ngaruh apa apa kan ke penampilan nyokap lo. Tapi coba lo liat yang ini. Dengan kalung yang desain kaya gini tuh nyokap lo jadi keliatan anggun." Lily berkata sambil menunjuk perhiasan mana yang Ia maksud. Ia seperti sudah sangat berpengalaman tentang hal perhiasan.

Putra hanya mengangguk angguk tanda mengerti. Akhirnya ia memutuskan untuk membeli sebuah kalung yang berliontin ukuran sedang dengan desain seperti ukiran bunga rose yang terlihat sangat anggun.

Setelah puas dengan hasil pemburuan kadonya. Ia pun mengajak Lily makan malam. Ia merasa sangat terbantu dengan keberadaan Lily.

Mereka makan malam di salah satu restaurant ala jepang yang ada di mall itu. Mereka makan sambil mengobrol ringan tentang diri masing masing. Mereka seperti sudah kenal lama. Karena Lily adalah tipe gadis yang cerdas dan easygoing, Ia mudah mengerti apa yang dikatakan orang lain.

Lily, Lilyana. Seorang gadis kelas XII SMA Nusa Jaya. Ia seorang gadis cerdas, tetapi sisi feminimnya tetap menonjol. Ia senang sekali memperhatikan perkembangan zaman. Khususnya dibidang perhiasan. Ia seringkali memprediksi perhiasan apa yang akan menjadi tren di tahun mendatang. Dan tak jarang prediksinya itu tepat.

Ia memiliki keluarga serba berkecukupan. Tapi Ia tetap bersikap sederhana dan sangat bersyukur atas itu. Inner beauty-nya langsung bisa ditangkap oleh siapa pun yang mengenalnya. Bukan hanya itu, Ia memiliki rambut hitam lurus panjang yang sangat membuat iri siapapun yang melihatnya. Ia terlahir dengan kulit eksotis yang sangat bersih terawat. Wajah manisnya dan senyumnya menambah sederetan keberuntungan yang ia miliki.

"Yaudah yuk, Hae. Gue udah mau balik dulu. Eh boleh gue minta nomer handphone lo gak? Gue seriusan fans lo." Lily menyodorkan handphonenya. Putra tanpa ragu langsung menyimpan nomernya di handphone Lily. Ia lalu memilih tombol call. Setelah sambungan masuk, langsung me-reject, lalu menyimpan nomer Lily di handphonenya.

"Thanks ya." Lily berkata. Lalu mereka langsung keluar tanpa lupa membayar dahulu, yang tentunya kali ini Lilu ditraktir oleh Putra. Anggap saja balasan karena telah menolong seorang buta fashion tadi, katanya.

***

Setelah sukses melarikan diri dari Arman, Tira tidak langsung pulang. Ia memilih untuk berkeliling mall dulu. Sumpek katanya. Setelah sampai ke mall, Ia membiarkan Pak Juki pulang dulu baru nanti menjemputnya.

Ia berputar putar sekitar dua jam. Dan kini swatch-nya sudah menunjukkan pukul 7.00PM. Ia sudah meminta Pak Juki menjemputnya daritadi. Tapi lelaki itu belum menampakkan pertanda kedatangannya.

Tira yang memang sudah bosan dan lapar, bermaksud untuk nongkrong dan makan dulu di restaurant jepang favorite Tira dan Putra. Baru sebentar Ia berjalan. Ia melihat seorang lelaki yang sangat Ia kenal. Sahabat baiknya, Putra. Dengan seorang GADIS! Siapa gadis itu? Tira yakin Ia sudah mengenal semua teman Putra, tapi dia siapa?

Tira mempercepat jalannya dan kini Ia sudah berada di depan Putra dengan wajah merah padam. Entah apa yang membuatnya begitu kesal.

Putra yang kaget melihatnya hanya terdiam tak tahu harus berkata apa. Ia tidak menyangka kebetulan seperti ini. Seingatnya tadi Tira pergi dengan Arman ke coffe shop. Tapi kenapa Tira di sini?

"Eh Raa. Kok lo di sini? Bukannya tadi..."

"Cewek ini siapa, Ra?

~to be continue...

Sabtu, 08 Desember 2012

Status ~Part 1

Gadis itu berjalan santai di atas red carpet, memasuki gedung megah didepannya. Dengan memakai long dress berwarna soft pink. Digenggamnya tas tangan berwarna senada dengan bajunya. Rambutnya yang dibuat sedikit curly, ia biarkan tergerai. Dengan make up ringan yang sangat pas dengan mukanya yang imut, ia bisa dikatakan sempurna malam ini. Tak lupa ia memasang senyum indah sedari tadi.

Senyumnya semakin melebar saat ia sudah masuk ke dalam gedung dengan selamat, tentunya tidak selamat dari sorotan kamera pers yang selalu mengikutinya. Seorang pemuda seusianya menyambutnya dengan senyum menawan, menyodorkan tangannya kepada si gadis, yang langsung menyambut dengan senyum yang semakin melebar.

"Thanks ya, princess. Udah mau dateng ke acara hamba yang sederhana ini." Kalimat itu dengan lancar keluar dari mulut pemuda itu.

"Aduh biasa aja kali gak usah gitu banget. Sederhana kata mu? Kamu harus cepet dirawat nih." Lalu mereka tertawa sambil masih berjalan menuju kursi depan.

Setelah mereka mencapai kursi depan dengan tulisan "VVIP", si pemuda itu langsung menyilakan si gadis untuk duduk di sana.

"Oke princess. Aku masih harus ngurus dibelakang. Kamu jangan sampe memalingkan matamu dari aku nanti ya. Awas lo." Pemuda itu tersenyum, yang dibalas anggukan kecil oleh si gadis. Lalu dengan segera pemuda itu berjalan meninggalkan si gadis duduk di bangku penonton.

***

"Gimana princess Ra? Bagus gak tadi penampilan aku?" Pemuda itu, Haekal Putra, bertanya tanpa mengalihkan fokusnya pada jalan.

"Ehm. Aduh sok sok nanya pendapat aku. Gak usah basa basi lah. Kamu pasti udah tau juga aku mau jawab apa kan, Ra?" Tira, Shatira Vannesa, memang sengaja memanggil pemuda itu dengan panggilan Ra atau Putra daripada Haekal. Yah supaya match aja katanya.

"Haha kamu. Tapi bener deh. Aku puas banget tadi itu Ra. Banget!" Kini Putra tersenyum sangat lebar. Tampak raut bahagia dimukanya.

Haekal Putra, dia seorang komposer muda berbakat. Tadi itu adalah konser tunggal pertamanya. Ia mempunyai sebuah orkestra, yang dinamakannya HP Orchestra, beranggotakan sekitar dua puluh orang dengan bakat yang sangat menakjubkan. Ditambah komposisi musik yang ia buat sendiri, penampilan mereka tadi benar benar menakjubkan. Putra bahkan bisa disetarakan kemampuannya dengan komposer senior yang sudah bergelut dibidang ini lebih dulu puluhan tahun daripada dia. Memang bakat alami yang ia punya. Bakatnya tidak menurun langsung dari orangtua. Melainkan dari nenek dan kakeknya. Kakeknya dulu juga adalah komposer terkenal. Sedangkan neneknya pianist kondang pada masanya.

Tira dan Putra saat ini sedang dalam perjalanan menuju rumah Tira. Ia sengaja tidak menelpon supirnya untuk menjemputnya. Karena, Putra menawarkan untuk mengantarkannya pulang.

Hubungan mereka berdua mungkin tak akan bisa tertebak dengan tepat oleh orang yang baru melihat mereka berdua. Ya, mereka bukan sepasang kekasih. Memang banyak yang beranggapan seperti itu. Karena memang mereka sering bersama.

1 tahun lalu...

"Bentar lagi kita nyampe Ra" Tira berusaha menyeimbangkan jalannya dan tetap berpegangan dengan Putra, karena entah kenapa Putra kali ini iseng menutup mata Tira. Tira yang kaget dijemput malam malam di rumahnya. Dengan baju rumahan bahkan tak diberinya kesempatan untuk mengganti baju. Malah langsung menutup mata Tira dengan saputangan hitam. Dan membawa Tira ke tempat ini. Tira yang bingung hanya pasrah menanggapi prilaku teman baru yang dikenalnya 1 bulan lalu di kursus barunya saat itu.

"Ini dimana sih Ra? Serius deh. Kalo tar ada yang liat aku pake baju rumah gini keluar, apa kata orang nanti Ra?" Tira berkata sambil terus menjaga keseimbangannya. Karena ia benar benar tak bisa melihat apa apa.

"Gak ada yang liat kok Ra. Ini gak bakal ngejatohin pamor kamu kok. Tenang aja." Putra berkata dengan santai dan membimbing Tira untuk duduk di sebuah bangku panjang di depan sebuah danau yang sudah dihiasinya dengan lilin lilin kecil. Tak ada penerangan lain disana kecuali lilin lilin kecil itu. Entah berapa banyak lilin yang ada di atas danau ini. Untung suasana pada malam itu sangat mendukung. Dimana angin seperti tahu bahwa ia tidak dibutuhkan saat ini.

Putra berusaha sangat keras untuk malam ini. Dia yang mengerjakan semua ini tanpa bantuan siapapun. Ia memang sangat tulus kepada Tira. Ya, dia akan menyatakan cintanya pada Tira. Walau baru bertemu 1 bulan, tapi Putra tahu pasti perasaan apa yang ia rasakan.

Setelah Tira sukses duduk manis di atas bangku panjang itu, Putra langsung membukakan saputangan yang menutupi mata Tira sedari tadi.

"Wow!" Satu kata yang cukup menggambarkan pendapat Tira tentang apa yang dilihatnya. Sangat cukup bahkan. "Kamu yang bikin sendiri nih? Niat banget Ra. Emang ada apa sih?" Tira berkata dalam satu tarikan nafas.

"Aduh Ra. Kamu diem aja deh. Gak usah banyak tanya." Putra yang tadi berdiri dibelakang Tira, bergerak mendekati Tira dan duduk disebelahnya. Ia hanya diam dan tersenyum memandang kedepan. "Aku sangat berterimakasih pada Tuhan yang udah ngusir angin dari sini."

Tira ikut diam dan tersenyum. Mereka hanya diam dalam beberapa waktu dan hanya melihat kedepan. Sepertinya mereka sangat nyaman dengan keadaan ini. Tak ada rasa canggung di antara mereka. Sampai Putra tersadar bahwa hari sudah semakin larut. Ia tak mungkin membiarkan Tira lebih lama lagi di sini dan mati kedinginan.

"Ra" mereka bersamaan berkata.

Hening sejenak.

"Hahahahahaha." Mereka tertawa bersamaan.

"Oke oke. Kamu mau ngomong apa Ra? Kamu dulu deh." Tira mempersilakan pemuda disampingnya ini.

"Hmm." Putra menatap Tira dalam dalam. "Kamu.... aku..... mau.... ehm...." entah apa yang keluar dari mulut Putra. Ia sendiri bingung dengan dirinya sendiri yang tak bisa mengatakan hal yang sudah ia latih dari 3 jam yang lalu.

"Apa Ra?" Tira balas menatap Putra. Ia benar benar penasaran dengan apa yang akan Putra katakan. Ia tak bisa menebak sama sekali. Sama sekali!

"Hmm... gak tau ya. Sejak aku ketemu kamu di kursus. Mataku gak pernah lepas dari kamu. Entah kenapa. Trus aku coba ngobrol sama kamu, aku makin gak bisa terelak dari pesona kamu. Aku makin pengen deket sama kamu dari hari ke hari. Sampe sekarang aku sadar, apa yang aku rasain ke kamu. Boleh gak aku jadi kekasih kamu?" Kalimat itu langsung dilontarkannya dengan cepat oleh Putra.

Tira hanya ternganga tak menyangka kalimat itu yang akan keluar dari bibir indah Putra. Ya, tidak sama sekali!

"Aaa.. hmmm.. gimana ya Ra.. aku.. hmm.." kini giliran Tira yang tak bisa berkata apa apa. Ia bingung!

"Apa Ra?" Putra tak bisa membendung rasa penasarannya. Ia sangat penasaran atas jawaban Tira. Kini jantungnya tak bisa berhenti berdetak kencang. Semakin lama semakin kencang.

Sampai Tira memalingkan wajahnya dan berkata "Maaf Ra. Aku gak bisa. Kita sahabatan aja ya. Menurut aku, sahabat sama pacar itu gak ada bedanya. Cuma status aja. Toh kita masih bisa ngobrol, ketawa bareng, dan kita punya hak untuk melindungi satu sama lain kan? Nah lalu apa bedanya sama pacaran kalau gitu? Ya kan?" Kini gilaran Tira yang berkata tanpa jeda.

Putra tertunduk. Ia diam. Mereka diam dalam waktu cukup lama. Masih terdiam. Dan kini hanya memandang danau di depan mereka. Angin yang tadi sangat bersahabat kini malah mengamuk dan semakin lama rintik hujan turun. Sekarang benar benar gelap di sini.

"Ra, yuk balik." Tira menggandeng Putra dan segera menariknya untuk berlari menuju mobil yang terparkir tak jauh dari danau itu.

Seakan tak ada yang terjadi pada malam itu, mereka malah makin akrab. Tentunya sebagai sahabat. Putra sudah mengerti apa maksud Tira. Ia sudah merenungkannya malam itu. Dan ia bisa menerima keputusan Tira. Dan jadilah mereka sekarang sepasang sahabat baik. Yang saling mengingatkan dan saling melindungi.

***

Tira tertidur di sepanjang perjalanan pulang. Ia memang sangat keletihan hari ini. Rutinitas shootingnya memang sangat menguras tenaganya.

Shatira Vannesa, seorang selebritis papan atas, muda belia baik hati dan sangat menjaga dirinya. Ia sangat sayang pada dirinya sendiri. Tapi tidak jika itu untuk keperluan shooting. Ia rela kelelahan demi suksesnya program yang Ia bintangi. Ia begitu royal dengan karirnya. Gadis kelas XII di salah satu SMA terkemuka di kotanya ini tetap menjaga pelajarannya di sekolah. Ia masih sempat belajar di sela sela shooting. Ia memang bisa dikatakan perfeksionis. Tinggi 170 cm dengan flat tummy dan kulit kuning langsat khas daerah tropis membuat dia semakin mejadi pusat perhatian. Keluarga dan teman teman yang sangat baik padanya. Mungkin Ia memang tak punya kekurangan dari segi ini.

Tira, begitu orang memanggilnya. Sampai usianya kini 17 tahun, ia tak pernah melepas status singlenya. Ia pikir berhubungan dengan orang lain dalam konteks lebih-dari-sekedar-teman itu tak ada gunanya di masa muda. Belum tentu orang itu akan menjadi jodoh kita nantinya. Dan Tira selalu mempercayai prinsipnya itu.

Ini bukan tanpa alasan sebenarnya, ia berkaca pada pengalaman pahit temannya yang sudah bertahun tahun pacaran, setelah temannya itu berkorban banyak untuk pasangannya, ia malah ditinggal pergi tanpa kabar dari kekasihnya itu. Sejak itu Tira selalu berpikir berkali kali apabila ada yang memintanya untuk menjalin hubungan lebih-dari-sekedar-teman.

***

"Ra, pulang bareng aku yuk?" Putra langsung menyembur saat Tira menjawab telponnya.

"Hmm, tapi Pak Juki udah di sini. Gimana dong?" Tira, yang tidak tega untuk menyuruh orang-yang-sudah-menunggunya-selama-tiga-jam ini untuk pergi sia sia, merasa berat dengan ajakan Putra. Bagaimana mungkin dia tega pada Pak Juki yang sudah seperti keluarganya ini untuk melakukan hal sia sia, mengorbankan waktunya, mati kebosanan menunggu dan akhirnya malah disuruh untuk pergi sendiri.

"Oh gitu. Tunggu bentar. Aku yang bilang Pak Juki ya." Sambungan terputus.

Putra langsung mencari kontak Pak Juki dan berkata untuk membiarkannya yang mengantar Tira, yang langsung di-iya-kannya dan mulai meninggalkan lapangan parkir sekolah Tira.

Putra memang sengaja menyimpan nomer handphone Pak Juki pada saat saat seperti ini. Terlalu sering saat seperti ini mungkin, jadi Pak Juki tidak terlalu kesal karena memang sudah kebiasaan Putra mengabari tiba-tiba.

Ia kini kembali menghubungi Tira. "Ra. Pak Juki udah aku suruh pulang aja. Yuk jalan." Putra menepuk pindak Tira. Tiba tiba saja sudah berdiri dibelakang Tira. Sebenarnya Putra memang sudah menunggu Tira dari 1 jam yang lalu.

"Hei! Hebat banget ya kamu. Kamu keturunan nenek sihir negeri dongeng?" Tira yang kaget hanya mengeluarkan kata asal dari mulutnya.

Tiba tiba saja ada seseorang yang berlari terengah engah kearah Tira. Dan menyerukan nama Tira berkali kali. Spontan Tira melihat ke sumber suara. Ternyata Arman, ketua kelas peduli ini sekarang sudah berada di dekat Tira dengan nafas masih terengah.

"Tir, pulang bareng gue yuk."

~to be continue...