"Tir, pulang bareng yuk." Arman langsung melontarkan kalimat itu tanpa memperhatikan seseorang-di-sebelah-Tira-yang-sudah-menunggu-satu-jam. Santai sekali nada bicaranya. Seakan Ia tidak berbuat dosa sedikit pun.
Putra sebenarnya ingin mengajak Tira mencarikan kado ulang tahun untuk ibunya, yang memang tinggal dua hari lagi. Ia tidak tahu mau mengajak siapa selain Tira. Karena teman dekat perempuan yang dia punya hanyalah Tira. Tidak mungkin Putra mengajak teman sebangkunya, Ivan, untuk membeli kado ibunya. Bisa bisa ia malah mengusulkan untuk membelikan skateboard nanti.
"Ra." Putra memanggil Tira dengan tatapan aku-butuh-kamu-dan-udah-nungguin-kamu-dari-tadi.
"Eh iya. Tunggu. Arman, lo ngapain tumben ngajak gue pulang bareng?" Tira langsung melayangkan pertanyaan itu karena dia sendiri bingung dengan situasi ini.
"Gini, Tir. Lo kan sekretaris kelas. Nah, Bu Tika nyuruh gue buat bikin surat izin untuk acara kita, Tir. Lo inget kan? Kunjungan universitas itu, Tir. Lo tau sendiri gue gak ngerti gimana caranya kan? Jadi bantuin gue ya. Ya? Kita bikinnya sambil santai aja di coffe shop langganan gue. Ya? Please." Arman memohon dengan sungguh sungguh.
"Oke. Sekarang, Ra. Kamu ngapain mau pulang bareng aku?" Kini giliran Putra yang diinterogasinya.
"Gak ada sih. Aku cuma kangen ngobrol aja sama kamu." Putra sengaja berbohong. Karena menurutnya urusan Arman lebih penting. Yah biar kali ini Ia mengalah saja. Lagipula kan masih ada hari esok.
"Yaudah. Jadi Ra, gakpapa kan kalo aku pulang sama Arman? Sorry ya udah bikin kamu nunggu eh malah jadi gini. Sorry ya Raa." Tira minta maaf sungguh sungguh.
"Yah gakpapa, Ra. Aku balik dulu ya. Dah. Hati hati ya." Putra langsung saja berjalan menuju Nissan Juke merahnya. Tanpa berbalik melihat Tira lagi.
"Yaudah yuk jalan." Arman santai saja langsung menarik tangan Tira, yang langsung dilepas secara halus oleh Tira.
***
"Nah, udah sampe nih. Yuk turun." Setelah memarkirkan mobilnya dengan mulus di depan coffe shop langganannya. Arman langsung turun sebelum Tira selesai membereskan tasnya. Dan Ia langsung membukakan pintu mobil untuk Tira. Ia memperlakukannya seperti tuan putri saja. Ini malah membuat Tira resah.
"Apaan sih Ar? Gue kan bisa buka sendiri tau." Tira memasang muka sebalnya. Ia memang tak suka diperlakukan istimewa, sekecil apapun, oleh orang yang tidak terlalu dekat dengannya.
"Sorry, kan gue cuma memperlakukan lo dengan baik soalnya lo udah mau bantuin gue. Udah yuk masuk." Kini Arman malah langsung menarik tangan Tira-yang lagi lagi langsung ditepis halus oleh Tira. Ya moodnya sudah berubah buruk sekarang.
"Santai aja Ar. Gue gak suka." Terdengar sekali nada tak senang dari mulutnya. Ia benar benar sudah tidak dalam mood baik sekarang.
Akhirnya, bukan membuat surat tapi Tira hanya mencoret coret kertas yang ada di depannya. Arman yang tak memperhatikan itu malah terus mengajak Tira mengobrol-yang walaupun kadang tak diresponnya.
"Rese banget sih nih orang." Pikirnya. "Hmm. Ar. Kayanya ini gak bakal selesai selesai deh. Mending gue bikinnya di rumah aja. Tar gue kirimin ke email lo buat lo perbaiki. Gampang kan?" Tira langsung berdiri dan berjalan keluar. Ternyata Ia sudah menghubungi Pak Juki daritadi untuk menjemputnya. Dan kini lelaki paruh baya itu sudah mendarat di depan coffe shop yang dikatakan Tira.
Segera Tira masuk ke dalam mobil tanpa pamit pada Arman, bahkan melihat sekilas saja tidak.
***
Putra sedang berjalan memutari sebuah mall di kawasan pusat kota. Niatnya ingin mencari kado untuk ibunda tercintanya. Tapi yang Ia lakukan daritadi hanyalah berputar-putar tanpa tahu kemana Ia akan berjalan. Ia seperti orang kebingungan. Bahkan SPG salah satu toko sudah hafal dengan mukanya dan tahu berapa menit lagi Putra akan melewati tokonya.
Ia masih saja berputar hingga akhirnya memilih untuk memasuki sebuah toko perhiasan emas putih. Ia melihat-lihat dan menebak kira kira mana yang akan disukai ibunya.
Karena terlalu serius memperhatikan perhiasan perhiasan cantik itu, Ia sampai tak tahu bahwa ada seorang gadis yang juga sedang memperhatikan perhiasan perhiasan itu dengan fokus. Dan akhirnya...
Bruk.
Mereka berdua bertabrakan dan hampir kehilangan keseimbangan masing masing.
"Maaf." Mereka berkata secara bersamaan dengan kepala yang sama sama menunduk tanda menyesal. Putra segera menatap ke depan. Dan gadis itu juga.
"Ini benar benar awkward." Pikirnya.
Gadis itu tersenyum kepadanya. Dan memasang tampang sepertinya-gue-kenal-lo. Yang langsung dibalas tatapan bingung dari Putra.
"Eh, lo Haekal Putra itu kan? Komposer terkenal itu kan? Waah seneng banget bisa ketemu lo gak sengaja kaya gini. Gue seneng banget loh denger instrumen-instrumen lo. Dan waktu konser lo itu gue dateng loh. Lo keren banget." Wajah gadis ini antusias sekali. Sepertinya Ia tahu segala seluk beluk kehidupan Putra dan berniat untuk mengkoreknya lebih jauh.
"Iya. Gue Haekal. Wah makasih ya udah suka sama karya gue. Misii." Putra -Ia lebih dikenal dengan Haekal daripada Putra, nama Putra sendiri hanyalah panggilan seenak jidat Tira- berniat untuk menjauh dari salah satu fansnya ini dan kembali melihat lihat perhiasan yang terpajang cantik di lemari kaca di depannya.
Gadis itu bukannya pergi malah ikut memperhatikan apa yang sedang dilihat Putra. "Lo lagi nyari perhiasan buat nyokap lo ya?" Ia kaget kenapa gadis ini bisa tahu secepat itu.
"Memangnya jelas banget kalo gue ini seorang jomblo yang gak bakal ke toko perhiasan kecuali membelikan nyokap perhiasan?" Seketika Putra merasa kasihan pada dirinya sendiri.
"Iya. Kok lo bisa tahu?" Putra yang penasaran -sekaligus memastikan apa benar tampangnya seperti jomblo ngenes?- langsung saja melayangkan pertanyaan itu.
"Bukan gimana gimana sih, cuma gue kebetulan pengamat perhiasan gitu. Mau gue bantuin milih?" Gadis itu menawarkan bantuan.
Putra langsung senang mendengar tawaran itu-sebenarnya Ia senang karena Ia tahu ternyata tampangnya tidak terlalu mencerminkan seorang jones (jomblo ngenes).
"Wah makasih banget udah mau bantuin gue. Eh kita belum kenalan resmi. Gue Haekal." Putra menyodorkan tangannya, tanda ingin menjalin hubungan baik dengan gadis ini.
"Gue Lily, Lilyana." Gadis itu, Lily, menyambut tangan Putra dan bersalaman.
"Nah, Ly. Kalo buat ibu-ibu umur empat puluhan gitu bagusnya ngasih yang mana sih?" Kini Putra kembali memberhatikan deretan emas putih cantik itu.
"Yah kalo menurut gue sih lebih baik lo beliin kalung aja. Trus bagusnya kalung yang liontinnya itu dengan desain rumit dan anggun gitu. Soalnya yang kaya gitu cocok buat jiwa ibu-ibu sih. Nah coba deh liat ini. Lo bayangin nyokap lo make kalung simple kaya gini. Ini gak bakal ngaruh apa apa kan ke penampilan nyokap lo. Tapi coba lo liat yang ini. Dengan kalung yang desain kaya gini tuh nyokap lo jadi keliatan anggun." Lily berkata sambil menunjuk perhiasan mana yang Ia maksud. Ia seperti sudah sangat berpengalaman tentang hal perhiasan.
Putra hanya mengangguk angguk tanda mengerti. Akhirnya ia memutuskan untuk membeli sebuah kalung yang berliontin ukuran sedang dengan desain seperti ukiran bunga rose yang terlihat sangat anggun.
Setelah puas dengan hasil pemburuan kadonya. Ia pun mengajak Lily makan malam. Ia merasa sangat terbantu dengan keberadaan Lily.
Mereka makan malam di salah satu restaurant ala jepang yang ada di mall itu. Mereka makan sambil mengobrol ringan tentang diri masing masing. Mereka seperti sudah kenal lama. Karena Lily adalah tipe gadis yang cerdas dan easygoing, Ia mudah mengerti apa yang dikatakan orang lain.
Lily, Lilyana. Seorang gadis kelas XII SMA Nusa Jaya. Ia seorang gadis cerdas, tetapi sisi feminimnya tetap menonjol. Ia senang sekali memperhatikan perkembangan zaman. Khususnya dibidang perhiasan. Ia seringkali memprediksi perhiasan apa yang akan menjadi tren di tahun mendatang. Dan tak jarang prediksinya itu tepat.
Ia memiliki keluarga serba berkecukupan. Tapi Ia tetap bersikap sederhana dan sangat bersyukur atas itu. Inner beauty-nya langsung bisa ditangkap oleh siapa pun yang mengenalnya. Bukan hanya itu, Ia memiliki rambut hitam lurus panjang yang sangat membuat iri siapapun yang melihatnya. Ia terlahir dengan kulit eksotis yang sangat bersih terawat. Wajah manisnya dan senyumnya menambah sederetan keberuntungan yang ia miliki.
"Yaudah yuk, Hae. Gue udah mau balik dulu. Eh boleh gue minta nomer handphone lo gak? Gue seriusan fans lo." Lily menyodorkan handphonenya. Putra tanpa ragu langsung menyimpan nomernya di handphone Lily. Ia lalu memilih tombol call. Setelah sambungan masuk, langsung me-reject, lalu menyimpan nomer Lily di handphonenya.
"Thanks ya." Lily berkata. Lalu mereka langsung keluar tanpa lupa membayar dahulu, yang tentunya kali ini Lilu ditraktir oleh Putra. Anggap saja balasan karena telah menolong seorang buta fashion tadi, katanya.
***
Setelah sukses melarikan diri dari Arman, Tira tidak langsung pulang. Ia memilih untuk berkeliling mall dulu. Sumpek katanya. Setelah sampai ke mall, Ia membiarkan Pak Juki pulang dulu baru nanti menjemputnya.
Ia berputar putar sekitar dua jam. Dan kini swatch-nya sudah menunjukkan pukul 7.00PM. Ia sudah meminta Pak Juki menjemputnya daritadi. Tapi lelaki itu belum menampakkan pertanda kedatangannya.
Tira yang memang sudah bosan dan lapar, bermaksud untuk nongkrong dan makan dulu di restaurant jepang favorite Tira dan Putra. Baru sebentar Ia berjalan. Ia melihat seorang lelaki yang sangat Ia kenal. Sahabat baiknya, Putra. Dengan seorang GADIS! Siapa gadis itu? Tira yakin Ia sudah mengenal semua teman Putra, tapi dia siapa?
Tira mempercepat jalannya dan kini Ia sudah berada di depan Putra dengan wajah merah padam. Entah apa yang membuatnya begitu kesal.
Putra yang kaget melihatnya hanya terdiam tak tahu harus berkata apa. Ia tidak menyangka kebetulan seperti ini. Seingatnya tadi Tira pergi dengan Arman ke coffe shop. Tapi kenapa Tira di sini?
"Eh Raa. Kok lo di sini? Bukannya tadi..."
"Cewek ini siapa, Ra?
~to be continue...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar