Gadis itu berjalan santai di atas red carpet, memasuki gedung megah didepannya. Dengan memakai long dress berwarna soft pink. Digenggamnya tas tangan berwarna senada dengan bajunya. Rambutnya yang dibuat sedikit curly, ia biarkan tergerai. Dengan make up ringan yang sangat pas dengan mukanya yang imut, ia bisa dikatakan sempurna malam ini. Tak lupa ia memasang senyum indah sedari tadi.
Senyumnya semakin melebar saat ia sudah masuk ke dalam gedung dengan selamat, tentunya tidak selamat dari sorotan kamera pers yang selalu mengikutinya. Seorang pemuda seusianya menyambutnya dengan senyum menawan, menyodorkan tangannya kepada si gadis, yang langsung menyambut dengan senyum yang semakin melebar.
"Thanks ya, princess. Udah mau dateng ke acara hamba yang sederhana ini." Kalimat itu dengan lancar keluar dari mulut pemuda itu.
"Aduh biasa aja kali gak usah gitu banget. Sederhana kata mu? Kamu harus cepet dirawat nih." Lalu mereka tertawa sambil masih berjalan menuju kursi depan.
Setelah mereka mencapai kursi depan dengan tulisan "VVIP", si pemuda itu langsung menyilakan si gadis untuk duduk di sana.
"Oke princess. Aku masih harus ngurus dibelakang. Kamu jangan sampe memalingkan matamu dari aku nanti ya. Awas lo." Pemuda itu tersenyum, yang dibalas anggukan kecil oleh si gadis. Lalu dengan segera pemuda itu berjalan meninggalkan si gadis duduk di bangku penonton.
***
"Gimana princess Ra? Bagus gak tadi penampilan aku?" Pemuda itu, Haekal Putra, bertanya tanpa mengalihkan fokusnya pada jalan.
"Ehm. Aduh sok sok nanya pendapat aku. Gak usah basa basi lah. Kamu pasti udah tau juga aku mau jawab apa kan, Ra?" Tira, Shatira Vannesa, memang sengaja memanggil pemuda itu dengan panggilan Ra atau Putra daripada Haekal. Yah supaya match aja katanya.
"Haha kamu. Tapi bener deh. Aku puas banget tadi itu Ra. Banget!" Kini Putra tersenyum sangat lebar. Tampak raut bahagia dimukanya.
Haekal Putra, dia seorang komposer muda berbakat. Tadi itu adalah konser tunggal pertamanya. Ia mempunyai sebuah orkestra, yang dinamakannya HP Orchestra, beranggotakan sekitar dua puluh orang dengan bakat yang sangat menakjubkan. Ditambah komposisi musik yang ia buat sendiri, penampilan mereka tadi benar benar menakjubkan. Putra bahkan bisa disetarakan kemampuannya dengan komposer senior yang sudah bergelut dibidang ini lebih dulu puluhan tahun daripada dia. Memang bakat alami yang ia punya. Bakatnya tidak menurun langsung dari orangtua. Melainkan dari nenek dan kakeknya. Kakeknya dulu juga adalah komposer terkenal. Sedangkan neneknya pianist kondang pada masanya.
Tira dan Putra saat ini sedang dalam perjalanan menuju rumah Tira. Ia sengaja tidak menelpon supirnya untuk menjemputnya. Karena, Putra menawarkan untuk mengantarkannya pulang.
Hubungan mereka berdua mungkin tak akan bisa tertebak dengan tepat oleh orang yang baru melihat mereka berdua. Ya, mereka bukan sepasang kekasih. Memang banyak yang beranggapan seperti itu. Karena memang mereka sering bersama.
1 tahun lalu...
"Bentar lagi kita nyampe Ra" Tira berusaha menyeimbangkan jalannya dan tetap berpegangan dengan Putra, karena entah kenapa Putra kali ini iseng menutup mata Tira. Tira yang kaget dijemput malam malam di rumahnya. Dengan baju rumahan bahkan tak diberinya kesempatan untuk mengganti baju. Malah langsung menutup mata Tira dengan saputangan hitam. Dan membawa Tira ke tempat ini. Tira yang bingung hanya pasrah menanggapi prilaku teman baru yang dikenalnya 1 bulan lalu di kursus barunya saat itu.
"Ini dimana sih Ra? Serius deh. Kalo tar ada yang liat aku pake baju rumah gini keluar, apa kata orang nanti Ra?" Tira berkata sambil terus menjaga keseimbangannya. Karena ia benar benar tak bisa melihat apa apa.
"Gak ada yang liat kok Ra. Ini gak bakal ngejatohin pamor kamu kok. Tenang aja." Putra berkata dengan santai dan membimbing Tira untuk duduk di sebuah bangku panjang di depan sebuah danau yang sudah dihiasinya dengan lilin lilin kecil. Tak ada penerangan lain disana kecuali lilin lilin kecil itu. Entah berapa banyak lilin yang ada di atas danau ini. Untung suasana pada malam itu sangat mendukung. Dimana angin seperti tahu bahwa ia tidak dibutuhkan saat ini.
Putra berusaha sangat keras untuk malam ini. Dia yang mengerjakan semua ini tanpa bantuan siapapun. Ia memang sangat tulus kepada Tira. Ya, dia akan menyatakan cintanya pada Tira. Walau baru bertemu 1 bulan, tapi Putra tahu pasti perasaan apa yang ia rasakan.
Setelah Tira sukses duduk manis di atas bangku panjang itu, Putra langsung membukakan saputangan yang menutupi mata Tira sedari tadi.
"Wow!" Satu kata yang cukup menggambarkan pendapat Tira tentang apa yang dilihatnya. Sangat cukup bahkan. "Kamu yang bikin sendiri nih? Niat banget Ra. Emang ada apa sih?" Tira berkata dalam satu tarikan nafas.
"Aduh Ra. Kamu diem aja deh. Gak usah banyak tanya." Putra yang tadi berdiri dibelakang Tira, bergerak mendekati Tira dan duduk disebelahnya. Ia hanya diam dan tersenyum memandang kedepan. "Aku sangat berterimakasih pada Tuhan yang udah ngusir angin dari sini."
Tira ikut diam dan tersenyum. Mereka hanya diam dalam beberapa waktu dan hanya melihat kedepan. Sepertinya mereka sangat nyaman dengan keadaan ini. Tak ada rasa canggung di antara mereka. Sampai Putra tersadar bahwa hari sudah semakin larut. Ia tak mungkin membiarkan Tira lebih lama lagi di sini dan mati kedinginan.
"Ra" mereka bersamaan berkata.
Hening sejenak.
"Hahahahahaha." Mereka tertawa bersamaan.
"Oke oke. Kamu mau ngomong apa Ra? Kamu dulu deh." Tira mempersilakan pemuda disampingnya ini.
"Hmm." Putra menatap Tira dalam dalam. "Kamu.... aku..... mau.... ehm...." entah apa yang keluar dari mulut Putra. Ia sendiri bingung dengan dirinya sendiri yang tak bisa mengatakan hal yang sudah ia latih dari 3 jam yang lalu.
"Apa Ra?" Tira balas menatap Putra. Ia benar benar penasaran dengan apa yang akan Putra katakan. Ia tak bisa menebak sama sekali. Sama sekali!
"Hmm... gak tau ya. Sejak aku ketemu kamu di kursus. Mataku gak pernah lepas dari kamu. Entah kenapa. Trus aku coba ngobrol sama kamu, aku makin gak bisa terelak dari pesona kamu. Aku makin pengen deket sama kamu dari hari ke hari. Sampe sekarang aku sadar, apa yang aku rasain ke kamu. Boleh gak aku jadi kekasih kamu?" Kalimat itu langsung dilontarkannya dengan cepat oleh Putra.
Tira hanya ternganga tak menyangka kalimat itu yang akan keluar dari bibir indah Putra. Ya, tidak sama sekali!
"Aaa.. hmmm.. gimana ya Ra.. aku.. hmm.." kini giliran Tira yang tak bisa berkata apa apa. Ia bingung!
"Apa Ra?" Putra tak bisa membendung rasa penasarannya. Ia sangat penasaran atas jawaban Tira. Kini jantungnya tak bisa berhenti berdetak kencang. Semakin lama semakin kencang.
Sampai Tira memalingkan wajahnya dan berkata "Maaf Ra. Aku gak bisa. Kita sahabatan aja ya. Menurut aku, sahabat sama pacar itu gak ada bedanya. Cuma status aja. Toh kita masih bisa ngobrol, ketawa bareng, dan kita punya hak untuk melindungi satu sama lain kan? Nah lalu apa bedanya sama pacaran kalau gitu? Ya kan?" Kini gilaran Tira yang berkata tanpa jeda.
Putra tertunduk. Ia diam. Mereka diam dalam waktu cukup lama. Masih terdiam. Dan kini hanya memandang danau di depan mereka. Angin yang tadi sangat bersahabat kini malah mengamuk dan semakin lama rintik hujan turun. Sekarang benar benar gelap di sini.
"Ra, yuk balik." Tira menggandeng Putra dan segera menariknya untuk berlari menuju mobil yang terparkir tak jauh dari danau itu.
Seakan tak ada yang terjadi pada malam itu, mereka malah makin akrab. Tentunya sebagai sahabat. Putra sudah mengerti apa maksud Tira. Ia sudah merenungkannya malam itu. Dan ia bisa menerima keputusan Tira. Dan jadilah mereka sekarang sepasang sahabat baik. Yang saling mengingatkan dan saling melindungi.
***
Tira tertidur di sepanjang perjalanan pulang. Ia memang sangat keletihan hari ini. Rutinitas shootingnya memang sangat menguras tenaganya.
Shatira Vannesa, seorang selebritis papan atas, muda belia baik hati dan sangat menjaga dirinya. Ia sangat sayang pada dirinya sendiri. Tapi tidak jika itu untuk keperluan shooting. Ia rela kelelahan demi suksesnya program yang Ia bintangi. Ia begitu royal dengan karirnya. Gadis kelas XII di salah satu SMA terkemuka di kotanya ini tetap menjaga pelajarannya di sekolah. Ia masih sempat belajar di sela sela shooting. Ia memang bisa dikatakan perfeksionis. Tinggi 170 cm dengan flat tummy dan kulit kuning langsat khas daerah tropis membuat dia semakin mejadi pusat perhatian. Keluarga dan teman teman yang sangat baik padanya. Mungkin Ia memang tak punya kekurangan dari segi ini.
Tira, begitu orang memanggilnya. Sampai usianya kini 17 tahun, ia tak pernah melepas status singlenya. Ia pikir berhubungan dengan orang lain dalam konteks lebih-dari-sekedar-teman itu tak ada gunanya di masa muda. Belum tentu orang itu akan menjadi jodoh kita nantinya. Dan Tira selalu mempercayai prinsipnya itu.
Ini bukan tanpa alasan sebenarnya, ia berkaca pada pengalaman pahit temannya yang sudah bertahun tahun pacaran, setelah temannya itu berkorban banyak untuk pasangannya, ia malah ditinggal pergi tanpa kabar dari kekasihnya itu. Sejak itu Tira selalu berpikir berkali kali apabila ada yang memintanya untuk menjalin hubungan lebih-dari-sekedar-teman.
***
"Ra, pulang bareng aku yuk?" Putra langsung menyembur saat Tira menjawab telponnya.
"Hmm, tapi Pak Juki udah di sini. Gimana dong?" Tira, yang tidak tega untuk menyuruh orang-yang-sudah-menunggunya-selama-tiga-jam ini untuk pergi sia sia, merasa berat dengan ajakan Putra. Bagaimana mungkin dia tega pada Pak Juki yang sudah seperti keluarganya ini untuk melakukan hal sia sia, mengorbankan waktunya, mati kebosanan menunggu dan akhirnya malah disuruh untuk pergi sendiri.
"Oh gitu. Tunggu bentar. Aku yang bilang Pak Juki ya." Sambungan terputus.
Putra langsung mencari kontak Pak Juki dan berkata untuk membiarkannya yang mengantar Tira, yang langsung di-iya-kannya dan mulai meninggalkan lapangan parkir sekolah Tira.
Putra memang sengaja menyimpan nomer handphone Pak Juki pada saat saat seperti ini. Terlalu sering saat seperti ini mungkin, jadi Pak Juki tidak terlalu kesal karena memang sudah kebiasaan Putra mengabari tiba-tiba.
Ia kini kembali menghubungi Tira. "Ra. Pak Juki udah aku suruh pulang aja. Yuk jalan." Putra menepuk pindak Tira. Tiba tiba saja sudah berdiri dibelakang Tira. Sebenarnya Putra memang sudah menunggu Tira dari 1 jam yang lalu.
"Hei! Hebat banget ya kamu. Kamu keturunan nenek sihir negeri dongeng?" Tira yang kaget hanya mengeluarkan kata asal dari mulutnya.
Tiba tiba saja ada seseorang yang berlari terengah engah kearah Tira. Dan menyerukan nama Tira berkali kali. Spontan Tira melihat ke sumber suara. Ternyata Arman, ketua kelas peduli ini sekarang sudah berada di dekat Tira dengan nafas masih terengah.
"Tir, pulang bareng gue yuk."
~to be continue...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar