Kamis, 27 Februari 2014

Masa-masa terkutuk

Kembali ke masa ini
Masa masa paling tak ingin ku lalui
Masa dimana tak ada siapapun di hati ku
Masa dimana aku tak merasakan apapun
Sebuah masa yang membuatku berpikir aku adalah orang yang menyedihkan
Bahkan seseorang yang menggetarkan jiwa ku barang sedetik tak ada

Ingin kembali rasanya bisa menangis dengan bebas dan menyalahkan seseorang
Kini tak bisa aku mengeluarkan pedih ku
Karena tak ada yang bisa disalahkan
Tak ada alasan bagi ku menumpahkan tangis ku

Masa ini membuat ku berpikir betapa datarnya hidup ku
Bahkan kini aku tak percaya bahwa bumi itu bundar
Sebuah masa yang membuatku menjadi seseorang yang sangat menyedihkan

Aku tak ingin berada di masa ini
Biar aku terus menangis daripada harus ada di masa seperti ini
Masa masa datar tak dapat merasa apapun
Tak ada yang perlu ditangisi, tak ada yang bisa ditangisi

Bahkan kini aku iri dengan saat-saat aku tersakiti dahulu
Saat-saat yang sangat aku benci malah kini ku rindukan
Aku ingin kembali ke saat itu
Bukan berada di masa ini

Minggu, 23 Februari 2014

Love Hurts -Part 3

Keesokan hari di sekolah.Lydhiana berusaha mencari-cari keberadaan Rio.Hanya ingin menghilangkan sedikit rindu kepada sahabatnya itu.Tanpa mempersiapkan alasan yang jelas, Lydhiana berjalan ke arah kelas Rio.XI IPA 4 yang letaknya agak dibelakang dan lumayan jauh dari kelas Lydhiana. Tak ada alasan lain yang bisa dikarangnya jika seseorang bertanya mengapa dia berjalan ke sana. Di sebelah kelas XI IPA 4 tak ada ruangan umum lainnya.Hanya ada kelas XII dan kelas akselerasi.Entah mengapa sekolah meletakkan satu satunya kelas XI di bagian ini.
Tak ada pilihan alasan selain hanya berkata ingin menemui teman di sana. Lydhiana terus berjalan. Saat Ia sudah berada di depan kelas Rio, tak ada wajah yang Ia cari. Sedaritadi saat Ia masih diperjalanan juga Ia tak dapat melihat Rio dikerubungan teman-teman Rio. Rasa penasaran yang membabi buta menimbulkan keberanian Lydhiana untuk bertanya kepada teman sekelas Rio.
"Mm mau tanya dong. Rio nya tadi sekolah gak?"Begitu katanya pada seorang siswa perempuan yang baru saja keluar dari kelas Rio.
"Rio udah seminggu masuk rumah sakit karena DBD.Kemarin kami baru aja ngebesuk dia."Sebuah informasi yang sangat mengejutkan bagi Lydhiana. Bahkan Ia tak tau keadaan seseorang yang Ia anggap sebagai sahabatnya. Ia merasa dirinya bukanlah sahabat yang baik bagi Rio.
"Trus keadaannya gimana sekarang?"Lydhiana tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
            "Parah.Dia koma udah 3 hari. Eh nama lo siapa ya?"Gadis itu seperti ingin memastikan sesuatu.
"Oiya. Gue Lydhia, Lydhiana." Gadis itu terkejut mendengar nama itu. Seperti sadar akan sesuatu. "Ada apa ya?"
"Lo lebih baik segera besuk dia ke rumah sakit. Selama koma dia cuma manggil-manggil nama lo."Gadis itu pun memberitahu alamat rumah sakit dimana Rio dirawat.
Lydhiana berbalik menuju kelasnya.Air matanya ingin tumpah rasanya.Ia takut sesuatu akan terjadi pada Rio. Sesuatu yang sangat tidak ingin didengarnya.
Setelah sampai di kelas. Tanpa pikir panjang,  Lydhiana langsung mengambil tasnya dan meminta izin dari sekolah. Dengan aktingnya yang sangat baik, akhirnya Lydhiana bisa mendapat izin pulang dengan berkata bahwa dia sakit perut. Lydhiana yang membawa motor ke sekolahnya segera menstarter motornya dan berjalan ke rumah sakit.
Pikirannya melayang selama perjalanan. Sekuat apapun Ia mencoba fokus, tetap saja Ia tak bisa menyingkirkan pikiran-pikiran buruk yang mendatanginya.
***

Berselang seperempat jam dari sekolah, Lydhiana sudah sampai di rumah sakit yang disebutkan oleh teman sekelas Rio tadi. Segera Ia berlari menuju lift setelah bertanya dimana ruangan Rio di rawat.
Di sinilah Ia. Di depan sebuah pintu kamar rumah sakit. Menangis.Takut membuka pintu.Takut melihat rasa bersalahnya.Rasa bersalah akibat tak peduli sedikitpun dengan Rio dan malah bermain-main dengan Rangga.
Diingatnya malam saat Ia sangat merindukan Rio kemarin. Malam yang mungkin saja Rio sedang menahan sakit dan memanggil namanya. Namun apa yang dilakukannya? Ia malah asik berbalas pesan dengan Rangga. Ia malah asik tertawa-tawa kemarin malam. Tangannya tanpa sadar sudah memukul-mukul kepalanya sendiri. Merasa hal itu dapat menghukumnya atas dosa yang telah Ia diperbuat.
            Tiba-tiba pintu di depannya terbuka.Seorang wanita paruh baya yang bisa dipastikan adalah Ibunda Rio. Terkaget melihat seorang gadis menangis di depan pintu. "Kamu temannya Rio?Mau besuk Rio ya?Yaudah masuk aja.Tante kebetulan ada keperluan."Ibunda Rio berjalan keluar.Kini Lydhiana menjejaki langkah pertamanya.
Dilihatnya Rio yang selalu ceria terkapar tak berdaya di atas kasur.Senyum yang biasa dilihat Lydhiana tak ada.Kini Lydhiana mendekat dan duduk di samping kasur Rio.Masih menangis.Didengarnya suara Rio samar-samar.Seperti memanggil-manggil.Ia menggigau.
"Ly..ly.."Tangis Lydhiana makin menjadi-jadi.Ia kini menggenggam tangan Rio. Digenggamnya tangan Rio berharap dengan itu Rio bisa tau bahwa ada Lydhiana di sisinya.Masih terisak, Lydhiana memperhatikan lagi wajah Rio.Pucat, tak ada cahaya lagi di mukanya. Seketika itu Lydhiana sadar betapa Ia merindukan wajah cerah Rio. Betapa Ia merindukan gelak tawa dan senyum indah yang terukir di wajah lelaki yang pernah ditolaknya dan kini malah menjadi sahabatnya.
Lydhiana rindu Rio.Ia rindu gelak tawa Rio. Ia rindu senyum indah Rio. Ia rindu tatapan indah mata Rio. Semua hal yang dirindukannya dan tak dapat Ia lihat saat ini. Lydhiana semakin terisak.Ditenggelamkan tangisnya di tangan Rio.Ia menunduk. Menangis hingga terlelap.
***

Sudah tiga hari Lydhiana tidak pergi ke sekolah. Tiga hari itu juga Ia sudah menemani Rio yang sudah sadar dari koma. Rio yang pucat masih berusaha menarik bibirnya membuat senyum.Seolah mengatakan kepada Lydhiana tak ada yang perlu ditakutkan. Seolah berkata bahwa Ia akan baik-baik saja.
Lydhiana kini sedang mendorong kursi roda Rio. Mereka baru saja berjalan ke taman. Hanya untuk menyegarkan pikiran Rio sejenak setelah muak dengan ruangan putih dan bau antiseptik.Ringtone handphone Lydhiana berbunyi. Sebuah nama tertulis di sana. Hana.Segera Lydhiana menerima panggilan itu.
"Lyd! Lo dimana? Reina, Lyd!!"Terdengar suara Hana yang sangat panik dari ujung telepon.
"Gue lagi di Rumah Sakit Citra nemenin Rio.Kenapa?"Pikiran Lydhiana mengawur kemana-mana.Ia memikirkan hal terburuk apa yang terjadi pada Reina.
"Reina pingsan, Lyd.Ceritanya panjang.Kebetulan banget gue emang mau ke Rumah Sakit Citra. Lo tetap di situ. 10 menit lagi gue nyampe."Dengan kalimat itu Hana menyelesaikan panggilannya.Lutut Lydhiana geli.Ia ingin jatuh rasanya. Rio hanya menatap dengan bingung. Dilambaikan tangannya ke depan wajah Lydhiana berharap itu bisa menyadarkannya.
"Eh? Oiya Rio kita balik ke kamar kamu aja ya."Lydhiana kembali mendorong kursi roda Rio.
"Lah kan emang kita udah mau ke kamar lagi, Lyd.Ada apa?" Rio sangat ingin tahu apa yang terjadi.
"Reina pingsan.Setelah mereka ke sini aku tinggal kamu gak papa ya."Mereka kini sudah berada di kamar rawat Rio.Rio kembali ke kasurnya.
"Lyd.Kamu tau.Aku selalu sayang kamu.Walau kamu cuma nganggep aku sahabat.Gapapa buat ku.Aku bakal tunggu kamu kok.Lyd? Hei Lyd!"Lydhiana sadar dari lamunannya.Ia tak dapat menangkap dengan pasti yang disampaikan Rio. Ia hanya mendengar bahwa Rio akan menunggunya.
"Nunggu buat apa, Yo?"Lydhiana kini bingung.
"Mm gak ada.Lupain aja."Lydhiana hanya mengangguk.Handphone Lydhiana kembali bergetar.Sebuah panggilan dari Hana.
"Edeilweis nomer 5.Sekarang!"Lydhiana sudah berdiri sekarang.Rio hanya bisa menatap nanar.Ia ingin Lydhiana tetap di sampingnya. Entah keegoisan dari mana yang melandanya.Tapi tetap.Ia tak ingin Lydhiana pergi saat ini. Diraihnya tangan Lydhiana seolah berkata jangan pergi.
"Aku pasti bakal balik kok, Yo.Kamu tunggu dulu ya.Aku pasti balik.Cuma sebentar kok."Rio melonggarkan genggamannya.Membiarkan Lydhiana pergi."Aku pasti balik, Yo.Pasti."
Rio terdiam.Ia menunduk. Air matanya mengalir. Entah apa yang menjadikannya sangat cengeng seperti ini. Satu hal yang pasti. Ia hanya ingin Lydhianatetap berada di sisinya saat ini.
***

"Jane! Hana!" Lydhiana memanggil teman mereka yang sudah menunggu di depan ruang rawat Reina.
"Akhirnya lo dateng juga Lyd."Hana lega.
"Ada apa?Kok bisa gini?" Lydhiana sangat ingin tahu apa yang terjadi.
"Tadi...
***

Reina memasuki kelas XI IPA 2 yang kini sangat kosong. Wajar, teman-temannya yang lain sedang berada di labor bahasa. Reina melupakan buku bahasa inggrisnya dan berniat mengambilnya di kelas. Saat Ia menuju mejanya. Sebuah kertas tertulis pesan singkat terletak di atas mejanya."Temui aku di labor kimia sekarang.Ada hal penting yang harus aku bilang ke kamu.-Bryan."Sebuah pesan yang kini menggiring Reina ke labor kimia.
Lorong kelas sangat sepi. Memang sekarang adalah jam pelajaran. Jadi tak ada siswa yang berkeliaran di luar kelas.Reina tetap berjalan menuju labor kimia. Sesampainya di sana. Ia langsung membuka pintu labordan...
BRUK!!!
Sebuah beda berat jatuh tepat menimpa kepala Reina. Ia terjatuh, kehilangan kesadarannya.
***

"Yaampun Reinaa! Siapa sih yang tega banget gitu?" Lydhiana kini mengasihani nasib malang temannya itu.
            "Han, coba deh lo pikir.Pas kita di labor bahasa.Siapa aja coba yang gak dikelas?"Jane mencoba menerka-nerka.
"Lydhiana, Zello lagi lomba basket, Reina yang mau ngambil buku, dan..."Tiba-tiba Hana berhenti ditengah pembicaraannya."Gak mungkin, Jane."Kini Hana menggelengkan kepala nya.
"Lo mikir hal yang sama kan sama gue. Iya, Han. Pasti dia pelakunya. Siapa lagi coba yang sirik sama Reina?" Sepertinya Jane dan Hana memiliki satu nama untuk dicurigai.
"Kalian ngomong aja berdua.Gak ada orang di sini nih. Iya gak ada orang.Cuma kalian berdua"Lydhiana yang tak tau apa-apa merasa dianak tirikan oleh kedua sahabatnya ini.
"Lyd, satu-satunya orang yang gak ada di labor bahasa waktu itu cuma Tya, Lyd! Lo inget gak sih pas hari kita main truth or dare? Tya kan sempet minta nomer Bryan. Menurut gue Tya suka sama Bryan. Karena ngeliat Bryan sama Reina jadian, dia kesel. Berniat buat bikin Reina celaka!"Jane menjelaskan sisi pemikirannya.Hana hanya mengangguk tanda setuju.
"Kalian jangan asal tuduh deh.Nanti dituntut loh atas pencemaran nama baik."Tak dapat dipungkiri, Lydhiana sebenarnya juga setuju dengan analisis Jane tadi.
"Siapa lagi coba.Tya cabut sebelum pelajaran bahasa inggris.Hari ini memang cuma labor kimia yang gak ada isinya.Pelajaran pertama dia masuk kok.Gue yakin Lyd."Hana menguatkan gagasan Jane barusan.
"Yaudahlah, masalah itu kita atasi sehabis Reina sembuh.Sekarang kita berdoa untuk kebaikan Reina aja dulu."Lydhiana berusaha bersikap netral dan tidak emosinal sekarang.
Karena terlalu sibuk menjaga Reina.Lydhiana malah lupa dengan Rio.Ia lupa dengan janjinya yang akan kembali. Ia lupa dengan kesakitan Rio yang dianggapnya sudah membaik. Padahal Rio masih merasakan sakit yang tak tertahan.Ia hanya berusaha terlihat lebih ceria di depan Lydhiana. Ia tak ingin Lydhiana sedih.
***

Esoknya.Lydhiana yang masih berada di ruang rawat Reina terbangun berkat ringtone handphonenya yang tak berhenti berbunyi.Nama Rio terpampang di layar handphonenya.Segera diterimanya panggilan itu.
"Ada apa, Yo?" Lydhiana berusaha menormalkan suaranya dan berusaha agar tidak terdengar seperti Ia memang baru bangun dari tidurnya.
"Ini betul nak Lydhiana? Temannya Rio? Segera ke kamar Rio."Sebuah suara milik seorang wanita paruh baya yang didengarnya.Lydhiana segera berlari menuju kamar Rio.
Dilihatnya seorang lelaki berpakaian putih menarik selimut Rio ke wajahnya.Sebuah pemandangan yang seketika membuat Lydhiana meneteskan air matanya.
"Gak.Gak mungkin.Tante.Rio kenapa?Rio kedinginan ya?Sampe harus ditutupi selimut gitu. Iya kan, Tan! Jawab aku, Tan." Air mata ibunda Rio tumpah. Ia menggeleng.
"Sabar ya."Lydhiana terhenyak.Di bukanya selimut yang sebenarnya hanyalah kain putih yang menutupi muka Rio. Sebuah wajah pucat pasi dengan senyum yang Ia lihat. Tangisnya makin menjadi-jadi.Rio telah pergi untuk selamanya.
***

Waktu berjalan begitu saja.Kini Lydhiana sudah berada di pemakaman.Hingga selesai dikuburkan.Lydhiana masih saja duduk ditepi pusara.Ia menatap nanar ke batu nisan di depannya. Kini Ia punya sebuah janji yang tak akan pernah bisa Ia bayar. Sebuah janji bahwa Ia akan kembali menemani Rio. Air matanya tak dapat dibendung.Ia menangis lagi.
Semua keluarga dan teman Rio yang tadinya ikut menguburkan kini sudah berjalan menjauh.Hanya Lydhiana dan ibunda Rio yang masih berada di sini.
Ibunda Rio menyodorkan handphone Rio.Menunjukkan sebuah rekaman suara.Lalu pergi meninggalkan Lydhiana.Diputarnya rekaman itu.Suara Rio yang sangat dirindukannya.
"Aku sayang kamu.Aku sayang kamu.Aku sayang kamu.Aku sayang kamu.Lydhiana.Kembali lah.Kembali lah.Jika tidak, susulah aku nanti di surga.Jika memang kamu tak bisa melihat ku lagi di dunia.Temuilah aku nanti di surga. Tepati janji mu bahwa kamu akan kembali kepada ku. Kembali lah kepada ku.Lydhiana. I love you, now and forever."
Lydhiana menangis semakin menjadi-jadi.Seseorang memperhatikan dari jauh.Rangga.Berjaga-jaga jika saja Lydhiana sudah tak kuat menahan tangisnya.
"Maafin aku, Yo! Maaf! Aku sayang kamu.Aku cinta kamu!" Kembali Ia terisak. Menangis hingga langit terlelap.
* * *

Begitulah sejatinya manusia. Mereka akan menyadari bahwa mereka memiliki sesuatu tepat pada saat mereka kehilangan sesuatu itu. Sadarilah apa yang kamu miliki sekarang. Syukuri apa yang kamu miliki. Sayangi apa yang kamu miliki. Hingga tak ada penyesalan saat kamu kehilangannya.


Tamat

Love Hurts -Part 2


"Reina! Rein!"Terdengar sebuah suara yang sudah sangat lama dirindukan Reina. Bryan. Entah apa yang membuat Bryan bisa-bisanya memanggil Reina seperti itu di depan ketiga sahabat Reina. Entah keberanian darimana yang tiba-tiba datang dan merasuki Bryan.Satu hal yang pasti adalah kerinduan mendalam yang dirasakan Bryan.Hal yang tak bisa diingkarinya.
Bryan menarik Reina dari ketiga sahabatnya. Diajaknya menjauh beberapa meter dari mereka. Seolah tak ada seorangpun yang boleh mendengar apa yang akan disampaikannya.
Jane, Hana, dan Lydhiana yang tak ingin mengganggu melanjutkan perjalanan mereka ke luar gerbang sekolah. Karena memang saat ini sudah waktunya untuk meninggalkan sekolah.Mereka berniat menunggu Reina di luar saja.Tak ingin mengganggu Reina dan Bryan yang sepertinya bakal membicarakan sesuatu yang penting.
"Ada apa kak?"Reina agaknya merasa sedikit canggung untuk memanggil Bryan hanya dengan namanya.Memang sudah lama sekali sejak mereka putus. Mungkinkah momen gila-gilaan makhluk-makhluk ajaib sewaktu bermain truth or dare yang membuat Bryan kembali merasakan degupan jantung yang lebih cepat ketika melihat Reina yang tak disangkanya akan masuk sekolah yang sama dengannya. Ia bahkan baru mengetahui hal itu pada momen dare beberapa hari lalu.
"Haha" Bryan tertawa ironis "Kak.Mm agak aneh dengar kamu manggil aku kak.Hei. Waktu itu kamu minta nomer handphone aku kan. Kenapa gak hubungi aku sama sekali?"Bryan ternyata mengharap berita dari Reina. Bryan bahkan tak tahu bahwa itu adalah hukuman bagi Reina yang telah memilih dare pada waktu itu.
"Mm itu.Kakak gak ngeh ya? Waktu itu kan aku dikerjain pas lagi main truth or dare bareng teman sekelas. Itu cuma bagian dari permainan kak.Maaf ya udah ngelibatin kakak di permainan kekanakan kami ini.Maaf banget kak."Reina mengatakan hal yang sebenarnya terjadi.Agak terdengar kejam memang. Hal itu juga Ia katakan untuk mengontrol detak jantungnya yang semakin berpacu. Beberapa hari ini sebenarnya Reina memang sudah geli ingin mengirim pesan ke nomer Bryan.Tapi gengsinya terlalu kuat.
            "Kenapa mereka bisa ngerjain kamu pake bawa bawa aku?Apa mereka tau?"Bryan ingin tau masihkah Reina menganggap keberadaan dirinya dulu.
"Gak kok.Waktu itu kebetulan kakak yang lewat dan cuma sendirian.Aduh maaf banget ya kak."Kecewa mendengar pernyataan itu.Bryan hanya mengangguk menutupi rasa kecewanya."Yaudah aku duluan ya.Nyusul temanku.Takutnya mereka malah lama nunggu. Bye."Bryan sempat terdiam mendengar kata itu. Hingga ketika Ia sadar bahwa  Reina sudah agak menjauh Ia mengejar Reina dan menarik tangannya.
"Hai.Boleh kenalan? Aku bryan. Kamu?Boleh minta nomer handphonenya?"Seolah ingin mengulang semuanya dari awal. Bryan memberi sinyal bahwa Ia ingin kembali bersama Reina.
"Kakak kenapa?" Reina yang sebenarnya sangat mengerti apa maksud Bryan hanya merasa terkejut dengan kejadian yang dihadapinya saat ini. Begitu cepat.Begitu tak terduga.
"Aku serius.Boleh bagi nomer handphonenya?"Bryan menyodorkan handphonenya.Seolah berkata untuk mengetikkan nomernya di handphone itu. Reina tak tau harus apa. Ia lalu mengambil handphone tersebut dan mengetikkan nomer handphonenya. "Makasih ya.Mm nama kamu?"Bryan masih saja bersikap seolah mereka baru kenal.Bryan masih bersikap seolah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.Ia hanya ingin mengulang kembali kisah mereka dari awal. Ya, dari awal.
"Reina. Bye." Reina merasa jantungnya akan segera copot dan kakinya perlahan tak akan kuat menahan badannya jika Ia masih tetap berada di sana. Ia takut akan jatuh pingsan jika masih melihat mata indah milik Bryan itu. Segera Ia berlari menuju teman-temannya.
"Makasih cantik!"Bryan masih tetap pada pendiriannya.Masih berlagak baru kenal dengan Reina.
Jauh dari sana. Sepasang mata melihat dengan sinis.Melihat dengan penuh benci di matanya.Tya.Ia kesal dengan Reina. Kini Ia menebak-nebak alasan Reina tak ingin memberikan nomer handphone Bryan pada saat itu. Ia akan tetap pada pendiriannya bahwa Reina suka pada Bryan dan berusaha mengejar Bryan. Itulah yang ada di otaknya.Hanya itu yang bisa diterimanya.Mulai detik itu terbentuk sebuah kebencian di hati Tya kepada Reina.
***

Reina sudah berada di luar gerbang. Lydhiana, Jane, dan Hana tak tertarik bertanya apa yang baru saja dikatakan Bryan kepada Reina. Mereka akan membiarkan Reina menentukan untuk menceritakan kepada mereka atau tidak. Itu adalah seutuhnya hak Reina dalam menentukan.
" Yaudah yuk jalan." Jane akan berjalan satu langkah. Seseorang keluar dari gerbang sekolah dengan motornya. Orang itu tepat berhenti di depan Jane, Hana, Reina, dan Lydhiana. Orang itu membuka kaca helm nya.Rangga.
"Lyd.Udah mau pulang? Bareng gue yuk."Rangga langsung saja berbicara tentang tujuannya.Lydhiana memandang tak tertarik.
"Gue mau pergi bareng mereka bertiga.Maaf ya."Lydhiana menarik tangan Jane yang berada di sebelahnya.Berjalan meninggalkan Rangga yang tertolak.Mereka berempat berjalan menuju mobil Jane yang sudah menunggu di tempat parkir.
"Agak kejam sih lo, Lyd."Hana berkata saat mereka sudah masuk ke mobil Jane.
"Iya Lyd. Lagian kita kan udah mau langsung pulang juga kan. Gak mau kemana-mana."Reina ikut menimpali.
"Gue gitu supaya dia gak berharap lebih ke gue.Gue gak mau ada yang tersakiti karena gue. Yaudah yuk jalan."Lydhiana menjelaskan tindakannya.
"Iya sih. Tapi bisa aja nanti dia malah benci sama lo. Lo serius gak berniat ngerespon pernyataan dia waktu itu?"Jane kini sudah menghidupkan mobilnya dan berjalan perlahan keluar wilayah sekolah.
"Kita liat aja nanti.Seserius apa dia ke gue."Lydhiana berkata dengan tak tertarik sedikit pun.
Hana, Reina dan Jane hanya terdiam mendengar perkataan Lydhiana dan mengalihkan pembicaraan mereka.
***

Hari-hari berlalu begitu cepat. Tak terasa Lydhiana akan segera memasuki kelas XI. Di sekolah Lydhiana tidak pernah ditetapkan pengacakan anggota kelas dari kelas X ke kelas XI. Maka itu Lydhana tetap berada di kelas ajaib dengan teman-teman ajaibnya.Ia akan masuk kelas XI IPA 2.
Tentu saja Lydhiana mendapat prestasi saat berada di kelas X. Ia mendapat juara 2 pada semester lalu. Hal yang mendorong Lydhiana tetap fokus pada pelajarannya dan tak sedikit pun ingin mengikuti teman-temannya yang selalu bersenang-senang di masa-masa SMA mereka.
Reina menjalin hubungan kembali dengan Bryan.Tanpa diketahui oleh Jane, Hana, dan Lydhiana bagaimana perjalanan cinta mereka.Reina tiba-tiba saja memberitahu bahwa mereka sudah bersama kembali saat sehari sebelum ujian akhir semester.
Tya dengan cepat mengetahui berita tersebut.Kini kebenciannya terhadap Reina semakin membesar.Tanpa pernah diketahui oleh siapapun.Diam-diam Tya sudah merencanakan sesuatu hal untuk memuaskan kebenciannya. Sesuatu yang tak akan terpikir oleh siswa SMA manapun
***
Sebuah malam biasa.Namun, ada hal yang tak biasa.Tak ada kabar dari Rio.Sudah beberapa hari ini Lydhiana tidak mendapatkan pesan apa-apa dari Rio.Ia juga tak ingin menghubungi Rio duluan karena dia mengira mungkin Rio sedang sibuk dengan suatu hal. Ia berpikir lebih baik baginya untuk diam dan tak mengganggu Rio.
Seperti biasa. Lydhiana duduk di depan meja belajarnya. Membuka buku pelajaran yang baru saja dibelinya. Tak seorang guru pun yang sudah memberi aba-aba tentang buku apa yang akan digunakan pada kelas XI. Lydhiana hanya menebak-nebak dan membeli berdasarkan penerbit buku-bukunya pada kelas X dulu.
Sedang melihat-lihat bagaimana kiranya pelajaran yang akan dipelajarinya pada pelajaran kimia, cahaya LED handphone Lydhiana menyala berwarna biru, menandakan bahwa ada sebuah pesan baru.
Lydhiana merasa sepertinya itu adalah pesan dari Rio segera mengambil handphonenya dengan semangat karena perasaan rindu yang menyerangnya.
Ternyata hanya sebuah pesan dari nomor yang tak dikenal.Walau Lydhiana kecewa, tetap saja dibukanya pesan itu.Dibacanya isi pesan itu. Sebuah nama yang sangat tak diharapkannya.
"Ini nomer handphone baru Rangga. Di save ya."Sebuah pesan yang tidak minta dibalas pikir Lydhiana.Ia kembali meletakkan handphone menjauh darinya. Tanpa terlebih dahulu menyimpan nomor barusan itu.
Sedang asik untuk mencoba mempelajari pelajaran barunya. Lydhiana kembali dikejutkan dengan cahaya LED biru handphonenya.  Sebuah pesan lagi.
"Ini nomer Lydhiana kan?Masih aktif kah?Bales ya buat memastikan."Lydhiana sudah tahu bahwa pesan itu hanyalah modus.Ia tahu bahwa sebenarnya Rangga hanya ingin menghubungi Lydhiana dan bergerak ke pendekatan berikutnya. Sangat jelas.
"Masih" Hanya kata itu yang diketikkannya.Sangat kejam sepertinya. Tapi apa mau dikata. Lydhiana sangat tak tertarik dengan pendekatan yang dilakukan Rangga.Diletakkannya lagi handphone nya. Baru saja Ia ingin membaca bukunya lagi. LED biru handphonenya kembali menyala.
"Lagi sibuk ya?Maaf ya kalau aku ganggu."Lydhiana terpaku pada sebuah kata."Aku".Sejak kapan Rangga memakai kata "aku".Lydhiana tertawa mengejek.
"Jelas banget sih modus lo.Jelas!" Kini Ia berbicara sendiri. Tak tertarik awalnya membalas pesan itu.Namun akhirnya Lydhiana merasa bersalah juga.Ia mengambil handphonenya dan membalas dengan sedikit lebih baik.
"Gak.Kamu gak ganggu kok."Kini malah Lydhiana ikut menggunakan kata "aku". Walau sebenarnya Lydhiana mengutuk apa yang barusan dikatakannya. Ia berusaha bersikap ramah agar dia tidak dicap sebagai cewek jutek.
"Ngapain juga gue baik-baikin dia?Apa untungnya di gue coba?"Kini Lydhiana malah kembali menyesali perbuatannya."Tapi kasian juga dia kalau dijutekin gitu.Nanti gue malah bikin musuh."Lydhiana dilema."Ah tau ah!"Kembali Lydhiana melirik bukunya, matanya seolah menolak deretan huruf yang ada di buku itu.Otaknya menolak membaca deretan huruf itu.Susah payah dia berusaha fokus. Otaknya terganggu dengan LED biru itu lagi. Lydhiana akhirnya menyerah.Ia mengambil handphonenya dan berjalan ke arah kasur. Gagal usahanya mencoba untuk belajar malam ini.Sekarang dia malah memegang handohonenya dan berbalas pesan dengan Rangga.
Semakin jauh topik pembicaraan mereka.Lydhiana baru sadar.Ternyata Rangga asik juga.Sepertinya keteguhan hatinya goyah.Lydhiana goyah.Bersambung...

***

Love Hurts -Part 1


"Aku bahkan gak tau warna kesukaanmu.Aku gak tau apapun tentang kamu.Secepat itu kamu bilang suka?Mungkin aku jahat.Tapi aku gak bisa.Maaf.Gak usah hubungi aku lagi."Gadis itu mengakhiri panggilannya. Segera ia mematikan handphonenya. Lalu dilemparnya handphone itu sembarangan di kasurnya.Ia memeluk kakinya. Menenggelamkan mukanya, menenggelamkan tangisnya.
Gadis itu menangis.Berpikir mengapa dia terlalu jahat seperti ini. Mengapa Ia sangat mudah menyakiti orang lain. Ia sangat takut dengan balasan apa yang akan didapatnya. Tapi, Ia juga tak ingin menyakiti dirinya dengan membohongi perasaannya.
Terlintas dipikirannya untuk meminta maaf kepada pemuda yang baru saja Ia tolak dengan kejam dan mengatakan untuk mencoba kembali. Tapi Ia urungkan niat itu. Jika Ia melakukan hal yang tidak sesuai dengan hatinya, tentu hal ini juga tidak akan berjalan baik. Ia malah akan lebih menyakiti orang lain.Di sinilah Ia. Menangis hingga terlelap.
***

Lydhiana. Sebuah kata yang merupakan nama lengkapnya. Terlalu simpel memang. Namun gadis pemilik nama ini tak sesimpel namanya. Ia orang rumit yang selalu memikirkan apa yang akan terjadi kedepannya jika Ia melakukan suatu hal. Ia selalu berpikir panjang sebelum melakukan sesuatu.
Hari ini adalah hari terakhir masa libur panjangnya sekaligus hari dimana Ia memasuki sekolah barunya. Ia baru saja tamat sekolah menengah pertama.  Ia tentu saja melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi. Ia sudah terdaftar di sebuah sekolah ternama di Kotanya. Sebuah sekolah tempat Ia menggantungkan harapannya. Ia berharap sekolah itu bisa mengantarkannya ke perguruan tinggi yang ia inginkan nantinya.
Lydhiana tidak sendirian di sekolah itu.Sekolah lamanya juga merupakan sekolah favorit yang berhasil menghantarkan murid-muridnya ke SMA yang baik.Seperti sekolah Lydhiana saat ini.
Harapan Lydhiana hanyalah bisa sekolah dengan baik dan bisa sampai ke universitas yang Ia inginkan. Hanya itu inginnya. Tak sedikitpun Ia berpikir tentang kehidupan masa SMA yang sering diumbar, tentang kehidupan SMA yang tak terlupakan katanya. Tak pernah terpikir baginya untuk melewati masa SMAnya dengan berhura-hura.
***

Hari itu tiba juga.Hari pertama memasuki sekolahnya yang baru.Merasakan suasana baru.Tak seorang pun yang tidak tahu tentang tradisi di hari pertama sekolah.Ya, MOS. Masa yang paling tidak diinginkan oleh seorang junior pun.Tapi saat itu lah masa yang paling dirindukan oleh para senior.Terlintas di benak Lydhiana keadaan MOS yang sangat menyiksa.Ia memang sudah memakai segala perlengkapan MOS, tapi tetap saja jiwanya tak siap untuk menghadapi masa "penyiksaan" ini.
Langkah pertamanya pun dijejakinya. Tak heran bagaimana Ia bisa mengenal kebanyakan siswa di sini. Karena memang sebagian besar adalah teman SMPnya dulu.Matanya menelusur setiap sudut sekolah. Mencari-cari sesuatu entah apa. Sedetik kemudian Ia menghela nafasnya. Seperti lega akan sesuatu. Dengan itu Ia tarik bibirnya membentuk sebuah senyum di wajahnya. Penuh percaya diri Ia berjalan menuju lapangan. Sangat mudah baginya untuk mengenali siswa kelas 10 saat ini.Ya, karena perlengkapan yang sangat dibencinya itu baru saja membantu Lydhiana mencari teman-temannya.
Senyum masih terukir di wajahnya. Semangatnya semakin membara seiring dengan derap langkahnya. Semakin dekat menuju temannya.Senyum semakin mengembang hingga seseorang mencegatnya.
"Lyd."Seketika senyum di wajah gadis ini pudar melihat pemuda di depannya.Pemuda yang baru saja ditolaknya.Rio.
"Loh kok?Kamu?Kenapa di sini?Bukannya waktu itu kamu ogah banget masuk sekolah ini."Lydhiana tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
"Ternyata kamu masih ingat aku ya.Selama ini perasaanku kalau kamu gak merhatiin aku itu ternyata salah.Kamu bahkan masih ingat kata-kata ku dua tahun yang lalu."Seketika bibir Rio terangkat.Merasa bahwa gadis ini tak mengabaikannya sepenuhnya.
"Itu..ya emang aku selalu ingat kok tentang siapa pun."Lydhiana berusaha mengelak.Tapi memang itu kenyataannya.Ia selalu berusaha mengingat apa pun yang telah disampaikan padanya.
"Yadeh iya. Bareng yuk."Rio mengikuti Lydhiana tanpa persetujuannya.Akhirnya Lydhiana hanya bisa diam dan kembali berjalan.Senyumnya lenyap.Semangatnya hilang.
Begitulah masa SMAnya dimulai. Seorang yang sangat tak ingin Ia temui malah menjadi orang pertama yang mengajaknya berbicara di sekolah barunya.
Bukan ingin menghindari, Lydhiana hanya tak ingin bertemu orang yang pernah disakitinya.Ia tak ingin merasa telah berdosa terhadap apa yang telah dilakukannya. Ia merasa bersalah kepada Rio yang bahkan tak lagi mengungkit masalah waktu itu.
Tak ada hal yang istimewa yang terjadi selama MOS. Dia hanya mendapatkan tumpukan tugas aneh dari senior. Lydhiana yang tak ingin terlibat masalah tentu selalu mengerjakan tugas apa pun itu. Malah karena itu Ia tak mendapat pengalaman menarik apa pun selama MOS.
***
Hari-hari berikutnya Ia lalui dengan semangat ingin cepat meninggalkan sekolah saat ini dan menjadi mahasiswa. Tepat seperti keinginan awalnya di hari pertama sekolah.
Leganya Ia saat mengetahui bahwa Ia tidak sekelas dengan Rio. Didukung dengan jarak kelas mereka yang terbilang jauh. Karena itu Ia bisa sedikit melupakan rasa bersalahnya.
Lydhiana memasuki kelasnya. X IPA 2. Tak ada pantangannya dalam berteman. Maka dari itu sangat cepat Ia mengakrabkan diri dan sudah mendapat teman yang rasanya cocok dengannya.Lydhiana langsung dekat dengan tiga orang di kelasnya di hari pertama memasuki kelasnya. Reina, Hana, dan Jane. Keempatnya tidak berasal dari sekolah yang sama. Entah magnet apa yang menarik mereka.
X IPA 2. Sebuah kelas dengan makhluk-makhluk berbagai macam bentuk dan sifatnya.Keberagaman itu malah menyatukan makhluk-makhluk yang bisa dikatakan sedikit tidak waras ini.Mereka melakukan hal-hal yang memalukan dengan tanpa rasa malu sedikit pun.Tak ada sehari pun mereka lewati tanpa adanya gelak tawa.
Semakin hari hubungan mereka semakin dekat. Lydhiana sudah mendapat kelas yang tak pernah Ia bayangkan sebelumnya. Sebuah kelas ajaib dengan makhluk ajaib.Walaupun mereka mungkin sudah tak punya urat malu.Tapi satu yang pasti, di antara semua kelas, kelas mereka lah yang paling sering mendapat nilai terbaik di setiap pelajaran.Tak heran semua guru senang dengan kelas ini.Hal ini semakin menguatkan keyakinan Lydhiana menuju universitas dambaannya.
***

"Eh lagi ngapain mereka bikin lingkaran gitu? Yuk ikut yuk."Hana langsung bergabung dengan teman sekelasnya yang sedang berkumpul di bagian belakang kelas. Ada 20 anak di sana. Semua siswa kelas X IPA 2 kecuali Lydiana, Hana, Jane, dan Reina yang baru masuk ke kelas.Tanpa perlu dipaksa Reina, Jane, dan tentunya Lydhiana langsung mengikuti Hana bergabung dengan teman-temannya.
"Lagi ngapain sih?Ikut doong."Celetuk Lydhiana.
Seketika beberapa dari mereka berkata "Buka foruuum".Dengan perkataan itu lingkaran semakin besar dan menyisakan tempat untuk mereka berempat.
"Kalau sudah duduk di sini gak boleh kabur yaa."Seperti seorang pemimpin forum kali ini, Shella menyampaikan peraturan.
"Eh tunggu dulu.Ini ngapain?" Jane bersiap berdiri takut-takut makhluk ajaib ini akan melakukan sesuatu yang aneh lagi.
"Kita cuma mau main truth or dare kok. Rangga, mana botolnya?"Adit menjelaskan.Seolah mengatakan kepada Jane bahwa tak ada yang perlu di takutkan.
"Ini nih."Rangga meletakkan botol yang dimaksud Adit di tengah lingkaran.
"Oke.Kita mulai dari Shella aja ya yang muter botolnya.Nanti bergiliran sesuai arah jarum jam untuk giliran muter botolnya" kali ini Rangga yang berkata.
Shella memajukan badannya dan memutar botol di depannya. Berputar... putar... dan akhirnya berhenti di....
Reina.
"Oke.Shella.Kasih pertanyaan."Adit bertitah.
"Oke... Reinaa. Mm... Lo punya mantan gak di sekolah ini? Siapa?"Ucap Shella setelah beberapa lama berpikir.
"Mmm.. gue dare aja deh."
"Huuuuuuuu.Gak asik aaah" Sontak teman temannya kecewa.Padahal mereka sangat ingin tau.          "Yah Reina. Berarti emang ada nih mantannya di sini. Yaudah deh. Dare nya apa nih temen-temen?"Zello berkata.
"Hormat tiang bendera aja" kali ini Tya yang menyahut.
"Jangan.Terlalu gampang.Gue tau.Sapa abang kelas.Minta nomer hapenya."Kali ini Jane malah menyudutkan temannya sendiri.
"Parah lo Jane!"Reina kesal dengan usul Jane yang langsung diterima oleh teman-temannya.
"Oke.Oke.Yuk keluar cari mangsa.Hahaha" Rangga bersemangat.        
"Wah gak beres kalian nih. Gak beres."Reina yang tak terima tapi tetap saja berjalan ke luar kelas.Karena kelas mereka sangat dekat dengan kantin.Tak sulit bagi mereka menemukan kakak kelas. Karena mereka pasti berlalu lalang pada jam istirahat seperti ini.
"Itu tuh, Rein.Yang lagi jalan sendirian."Shella bersemangat. Reina, Jane, Hana, tak terkecuali Lydhiana kaget melihat orang yang ditunjuk Shella. Ya, mereka berempat tahu.Kakak kelas yang barusan ditunjuk itu adalah mantan Reina.Tanpa diduga, Reina langsung berjalan dengan tak protes sedikit pun.Ia mendekati kakak kelas itu dan langsung berbicara.
Makhluk-makhluk ajaib lainnya melihat dari pintu kelas mereka.Mengintip berharap tidak ketahuan. Tak ada yang bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Namun yang pasti Reina sudah kembali dengan memperlihatkan handphonenya yang sudah ada nomor kakak kelas yang barusan itu.
"Oh jadi nama abang ganteng itu Bryan. Waah" Tya berkata dengan muka yang berseri-seri.Sepertinya sudah lama Tya mengincar seniornya itu.Reina membelalakkan matanya.
"Jangan bilang lo suka sama tuh orang?"Hana melihat Tya curiga.
"Siapa yang gak suka coba?Gateng gitu."Tya menjawab dengan cuek."Bagi nomer handphonenya dong, Rein" Tya kini memohon kepada Reina.Tentu saja Reina tidak menuruti keinginan Tya dan berlalu begitu saja.
"Dia kenapa sih?Gak asik banget."Tya menggerutu.      
Jane, Hana, dan Lydhiana hanya mengangkat bahu. Berpura-pura tidak tau.
Mereka kembali ke posisi masing-masing.Kali ini giliran Lydhiana memutar botol.
"Oke."Lydhiana bergerak maju dan memutar botol yang tergeletak pasrah ditengah lingkaran mahkluk-makhluk ajaib ini. Dan...
"Rangga!"Semua berseru.
"Rangga, siapa anak kelas ini yang lo suka?"Dengan lancar Lydhiana mengucapkannya.Sepertinya pertanyaan itu memang sudah dipikirkannya dari tadi agar tidak menghabiskan waktu terlalu lama ketika gilirannya memberi pertanyaan tiba.
Rangga senyum.Lalu berkata "Truth."Semua melihat ke Rangga.Tapi, mata Rangga hanya tertuju ke sepasang bola mata."Lo."Lydhiana kaget mendengar jawaban itu.
Dilihatnya kebelakang seolah bingung apa ada orang lain di belakangnya. Lalu Ia menunjuk hidungnya. "Gue?"
"Iya."Rangga masih senyum dan masih menatap mata Lydhiana terpesona.
"Ciyeeeeee" makhluk-makhluk ajaib ini malah mengacaukan acara tatap-tatapan Rangga dan Lydhiana.
"Yaudah yuk lanjut."Dengan gampangnya Lydhiana berkata seperti itu.Semua anak melihatnya tak percaya.
"Lyd, lo bahkan gak nanggepin apa-apa?"Adit melihat tak percaya."Dia udah seberani itu ngungkapin perasaannya ke elo."
"Dit.Udah deh.Gapapa.Gue juga gak minta direspon.Kok malah lo nya yang sewot.Yuk lanjut."Rangga menyembunyikan merah mukanya. Sakit memang rasanya, tapi Ia tak ingin memperlihatkan sisi lemahnya. Ia kini malah bersikap seperti tak ada yang terjadi barusan. Lydhiana yang memang tak peduli hanya mengangkat bahu dan melanjutkan permainan.
***

Sebuah malam biasa. Lydhiana pasti sedang duduk di meja belajar nya dan mengerjakan apa saja yang bisa Ia kerjakan. Diliriknya handphone yang terletak di sampingnya.Tak ada pesan.Tak ada pemberitahuan apapun.Lydhiana kembali fokus ke buku di depannya.
Terlintas di benaknya kisah dahulu saat Rio masih mendekatinya. Masih jelas di benaknya bagaimana Ia ingin marah rasanya saat Rio mengganggu proses belajarnya. Ia merindukan saat itu. Sangat rindu.
Diliriknya lagi handphonenya. Tapi sama, tak ada berita apapun. Akhirnya Lydhiana menyerah dan sekarang mengambil handphonenya.Diaktifkannya mode wi-fi di handphone yang langsung terhubung ke wi-fi rumahnya.
Hanya ada chat tak jelas dari teman sekelasnya. Tak ada yang lain. Lydhiana pasrah.Iamengambil headset dan memutar lagu. Berharap dengan itu Ia bisa melupakan kerinduannya sekejap.
Tak jelas apa yang membuatnya menjadi seperti ini. Ia juga tak yakin dengan perasaannya kepada Rio. Ia hanya merindukan seorang teman. Teman yang biasanya selalu ada menemani saat saat membosankannya.
Di bagian lain. Rio memegang handphonenya yang sudah berisi sebuah pesan. Ibu jarinya hendak menyentuh tombol send. Tapi selalu diurungkannya.Dilemparnya handphone sembarangan.Kini dia benar-benar dilema. Apakah Ia akan menahan rasa gengsinya atau membiarkan rasa rindu tak tertahan menguasai dirinya. Ia bingung. Kembali diambilnya handphonenya. Tanpa sadar jarinya sudah menyentuh tombol send itu. Rio yang masih berpikir tak sadar dengan apa yang barusan dia perbuat. Hingga Ia terkaget dengan sebuah getaran di handphonenya. Ternyata sebuah pesan balasan dari Lydhiana yang membalas pesan sebelumnya.Masih tak percaya.Dilihatnya lagi isi pesan itu. Kemudian baru Ia sadar bahwa Ia baru saja mengirim pesan ke Lydhiana. Saat itu juga untuk pertama kalinya Rio mengutuk perkembangan teknologi yang sudah menemukan handphone layar sentuh.
"Hai. Lagi apa di sana?"Begitu pesan yang ditulis Rio.Ia langsung menyesali perbuatannya.
"Lagi rindu seseorang."Balasan yang membuat Rio berharap-harap cemas.Apakah orang itu dirinya atau bukan.
Begitulah malam ini dilalui Lydhiana.Buku-buku yang tadi menemaninya kini hanya menatap Lydhiana sedih. Handphone dan pesan dari seseorang di sana lebih menyenangkan dari pada mereka para buku.
Seperti sadar akan sesuatu. Lydhiana tak bisa kehilangan Rio.Ia ingin Rio tetap di sisinya. Dengan status sebagai sahabat.Hal sederhana yang diinginkan Lydhiana. Tentu saja tak sama dengan Rio yang berharap lebih.
Hingga Lydhiana membahas status mereka.Suasana yang awalnya menyenangkan tiba-tiba berubah serius.
"Rio. Kita sahabatan yuk."Seperti sebuah lamaran.Hanya saja kali ini adalah lamaran yang tak pernah ingin didengar oleh satu pun lelaki yang mencintai seorang perempuan.Sebuah lamaran persahabatan yang lebih mirip dengan penolakan cinta.
Seketika senyum Rio yang dari tadi tidak bisa ditahan kini memudar.Ia sedih. Tak pernah Ia menginginkan kata-kata itu terucap dari Lydhiana. Baginya lebih baik berhubungan tanpa status dibanding harus mematahkan harapannya dengan pernyataan persahabatan.
Sedih di satu sisi, Rio kehilangan pengharapannya untuk mendapat cinta dari Lydhiana. Sedangkan Lydhiana baru saja mengutarakan pengharapan agar Rio akan menjadi sahabatnya. Pengharapan agar Rio tetap di sisinya.
Keadaan yang sangat membingungkan.Rio hanya bisa pasrah dan berkata "Baiklah."Tak bisa menolak.Karena dia juga tak ingin menjauh dari Lydhiana.
Sebuah malam biasa yang akhirnya berubah menjadi malam penolakan bagi Rio. Sebuah malam yang akan selalu dikutuknya. Sebuah penyesalan dengan jempolnya yang sudah sembarangan menyentuh tombol send. Bersambung...
***

Selasa, 11 Februari 2014

Penyesalan

Ada masanya saat melihat dia dari jauh lebih membuat mu bahagia dari pada saat kamu benar benar memilikinya
Kebahagiaan yang sederhana memang

Pada saat itu kamu baru menyadari betapa kamu mencintainya
Saat itu kamu baru menyadari kamu pernah memilikinya
Perasaan yang tak pernah ada saat kamu benar-benar memillikinya dulu

Ya hanya penyesalan yang ada sekarang
Di saat semuanya telah berlalu
Tak ada yang bisa diperbuat
Hanya kamu yang tak menyadari betapa berharga nya waktu-waktu mu bersamanya

Dulu kau tak pernah benar-benar memikirkan bagaimana kalau dia pergi
Dulu kau merasa bahwa dia akan selalu bersama mu
Sampai tak menghargai waktu yang kau lewati bersamanya

Memang saat itu sangat biasa berada di sampingnya
Namun, ingat lah saat kamu kehilangannya
Kamu sangat ingin kembali ke masa itu dan meperlakukannya bak seorang raja

Waktu memang tak bisa diputar
Jalani yang kamu hadapi sekarang
Jadikan masa lalu sebagai pelajaran

Memang manusia selalu menyadari bahwa Ia memiliki sesuatu saat Ia sudah kehilangannya.

Minggu, 09 Februari 2014

Beri aku satu permintaan

Beri aku satu permintaan
Aku ingin seseorang untuk berbagi
Saat tak ada yang mau mendengarkan
Saat tak ada yang ingin tau bagaimana perasaan ku
Sedih terus ku tahan sendiri
Sesak tak bisa menangis
Pedih melihat berharap lenyap
Sakit yang ku rasa
Tak guna menyalahkan keadaan
Tak guna menyesali keputusan
Suara ku tak akan pernah terdengar
Takkan pernah didengar
Tak ada yang ingin mendengar

Beri aku satu permintaan
Aku ingin seorang untuk berbagi
Di tengah keramaian aku sendiri
Keributan menyesak telinga
Berbicara tak terdengar
Berteriak tak didengar
Berbisik... tak ada yang ingin mendengar
Diam tak ada yang penasaran

Beri aku satu permintaan
Aku ingin seseorang untuk berbagi
Hanya untuk ungkapkan perasaan
Betapa sakit mecinta sendiri
Betapa sakit melihat mereka
Tak ada hak untuk melarang
Tak ada hak untuk menangis
Hanya bisa menahan sakit yang semakin sakit

Beri aku satu permintaan
Aku ingin seseorang untuk berbagi
Mendengar apa yang akan ku utarakan
Mendengar apa yang aku rasakan
Biar tak menjawab tak apa
Hanya perlu mendengarkan
Dengarkan sakit ku
Dengarkan pedih ku
Dengarkan sesak ku
Berpihaklah pada ku barang sedetik
Hapus air mata ku
Katakan jangan menangis lagi
Katakan bahwa aku kuat
Katakan aku bisa menanganinya
Katakan aku bisa merelakannya
Aku bisa melupakannya

Beri aku satu permintaan
Aku ingin seseorang untuk berbagi...

Minggu, 02 Februari 2014

As always

Jika setiap mengingat mu aku harus membayar pajak 100 rupiah
Lihat akan menjadi seberapa majunya negeri ini

Jika setiap aku berharap dapat melihat mu aku meletakkan sebuah bata
Lihat istana apa yang aku bangun

Jika setiap aku ingin kembali menggenggam tangan mu berarti aku memberi makan sesuap nasi
Lihat bagaimana nanti tak ada lagi orang kelaparan di negeri ini

Jika setiap kali aku merindukan mata indah itu berarti mengungkap satu kasus korupsi
Lihat betapa tak ada koruptor lagi di dunia

Jika menulis nama mu berarti aku mendonor kan 10mili darah ku
Lihat bagaimana aku tak ada lagi di dunia ini

Jika setiap kali aku menangis untuk mu berarti aku membayar hutang negara sebesar 1000 rupiah
Lihat bagaimana negeri ini kebingungan mencari hutang yang harus dibayar lagi

Jika setiap kali aku ingin bersama mu kembali aku harus mengatakan sebuah kata
Dengar syair indah apa yang akan ku sampaikan

Sebesar itulah aku mencintai mu. As always.