"Aku bahkan gak tau
warna kesukaanmu.Aku gak tau apapun tentang kamu.Secepat itu kamu bilang
suka?Mungkin aku jahat.Tapi aku gak bisa.Maaf.Gak usah hubungi aku
lagi."Gadis itu mengakhiri panggilannya. Segera ia mematikan handphonenya.
Lalu dilemparnya handphone itu sembarangan di kasurnya.Ia memeluk kakinya.
Menenggelamkan mukanya, menenggelamkan tangisnya.
Gadis itu
menangis.Berpikir mengapa dia terlalu jahat seperti ini. Mengapa Ia sangat
mudah menyakiti orang lain. Ia sangat takut dengan balasan apa yang akan
didapatnya. Tapi, Ia juga tak ingin menyakiti dirinya dengan membohongi
perasaannya.
Terlintas dipikirannya
untuk meminta maaf kepada pemuda yang baru saja Ia tolak dengan kejam dan
mengatakan untuk mencoba kembali. Tapi Ia urungkan niat itu. Jika Ia melakukan
hal yang tidak sesuai dengan hatinya, tentu hal ini juga tidak akan berjalan
baik. Ia malah akan lebih menyakiti orang lain.Di sinilah Ia. Menangis hingga
terlelap.
***
Lydhiana. Sebuah kata yang
merupakan nama lengkapnya. Terlalu simpel memang. Namun gadis pemilik nama ini
tak sesimpel namanya. Ia orang rumit yang selalu memikirkan apa yang akan
terjadi kedepannya jika Ia melakukan suatu hal. Ia selalu berpikir panjang
sebelum melakukan sesuatu.
Hari ini adalah hari
terakhir masa libur panjangnya sekaligus hari dimana Ia memasuki sekolah
barunya. Ia baru saja tamat sekolah menengah pertama. Ia tentu saja melanjutkan ke tingkat yang
lebih tinggi. Ia sudah terdaftar di sebuah sekolah ternama di Kotanya. Sebuah
sekolah tempat Ia menggantungkan harapannya. Ia berharap sekolah itu bisa
mengantarkannya ke perguruan tinggi yang ia inginkan nantinya.
Lydhiana tidak sendirian
di sekolah itu.Sekolah lamanya juga merupakan sekolah favorit yang berhasil
menghantarkan murid-muridnya ke SMA yang baik.Seperti sekolah Lydhiana saat
ini.
Harapan Lydhiana hanyalah
bisa sekolah dengan baik dan bisa sampai ke universitas yang Ia inginkan. Hanya
itu inginnya. Tak sedikitpun Ia berpikir tentang kehidupan masa SMA yang sering
diumbar, tentang kehidupan SMA yang tak terlupakan katanya. Tak pernah terpikir
baginya untuk melewati masa SMAnya dengan berhura-hura.
***
Hari itu tiba juga.Hari
pertama memasuki sekolahnya yang baru.Merasakan suasana baru.Tak seorang pun
yang tidak tahu tentang tradisi di hari pertama sekolah.Ya, MOS. Masa yang
paling tidak diinginkan oleh seorang junior pun.Tapi saat itu lah masa yang
paling dirindukan oleh para senior.Terlintas di benak Lydhiana keadaan MOS yang
sangat menyiksa.Ia memang sudah memakai segala perlengkapan MOS, tapi tetap
saja jiwanya tak siap untuk menghadapi masa "penyiksaan" ini.
Langkah pertamanya pun
dijejakinya. Tak heran bagaimana Ia bisa mengenal kebanyakan siswa di sini.
Karena memang sebagian besar adalah teman SMPnya dulu.Matanya menelusur setiap
sudut sekolah. Mencari-cari sesuatu entah apa. Sedetik kemudian Ia menghela
nafasnya. Seperti lega akan sesuatu. Dengan itu Ia tarik bibirnya membentuk
sebuah senyum di wajahnya. Penuh percaya diri Ia berjalan menuju lapangan. Sangat
mudah baginya untuk mengenali siswa kelas 10 saat ini.Ya, karena perlengkapan
yang sangat dibencinya itu baru saja membantu Lydhiana mencari teman-temannya.
Senyum masih terukir di
wajahnya. Semangatnya semakin membara seiring dengan derap langkahnya. Semakin
dekat menuju temannya.Senyum semakin mengembang hingga seseorang mencegatnya.
"Lyd."Seketika
senyum di wajah gadis ini pudar melihat pemuda di depannya.Pemuda yang baru
saja ditolaknya.Rio.
"Loh kok?Kamu?Kenapa
di sini?Bukannya waktu itu kamu ogah banget masuk sekolah ini."Lydhiana
tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
"Ternyata kamu masih
ingat aku ya.Selama ini perasaanku kalau kamu gak merhatiin aku itu ternyata
salah.Kamu bahkan masih ingat kata-kata ku dua tahun yang lalu."Seketika
bibir Rio terangkat.Merasa bahwa gadis ini tak mengabaikannya sepenuhnya.
"Itu..ya emang aku
selalu ingat kok tentang siapa pun."Lydhiana berusaha mengelak.Tapi memang
itu kenyataannya.Ia selalu berusaha mengingat apa pun yang telah disampaikan
padanya.
"Yadeh iya. Bareng
yuk."Rio mengikuti Lydhiana tanpa persetujuannya.Akhirnya Lydhiana hanya
bisa diam dan kembali berjalan.Senyumnya lenyap.Semangatnya hilang.
Begitulah masa SMAnya
dimulai. Seorang yang sangat tak ingin Ia temui malah menjadi orang pertama
yang mengajaknya berbicara di sekolah barunya.
Bukan ingin menghindari,
Lydhiana hanya tak ingin bertemu orang yang pernah disakitinya.Ia tak ingin
merasa telah berdosa terhadap apa yang telah dilakukannya. Ia merasa bersalah
kepada Rio yang bahkan tak lagi mengungkit masalah waktu itu.
Tak ada hal yang istimewa
yang terjadi selama MOS. Dia hanya mendapatkan tumpukan tugas aneh dari senior.
Lydhiana yang tak ingin terlibat masalah tentu selalu mengerjakan tugas apa pun
itu. Malah karena itu Ia tak mendapat pengalaman menarik apa pun selama MOS.
***
Hari-hari berikutnya Ia
lalui dengan semangat ingin cepat meninggalkan sekolah saat ini dan menjadi
mahasiswa. Tepat seperti keinginan awalnya di hari pertama sekolah.
Leganya Ia saat mengetahui
bahwa Ia tidak sekelas dengan Rio. Didukung dengan jarak kelas mereka yang
terbilang jauh. Karena itu Ia bisa sedikit melupakan rasa bersalahnya.
Lydhiana memasuki
kelasnya. X IPA 2. Tak ada pantangannya dalam berteman. Maka dari itu sangat
cepat Ia mengakrabkan diri dan sudah mendapat teman yang rasanya cocok
dengannya.Lydhiana langsung dekat dengan tiga orang di kelasnya di hari pertama
memasuki kelasnya. Reina, Hana, dan Jane. Keempatnya tidak berasal dari sekolah
yang sama. Entah magnet apa yang menarik mereka.
X IPA 2. Sebuah kelas
dengan makhluk-makhluk berbagai macam bentuk dan sifatnya.Keberagaman itu malah
menyatukan makhluk-makhluk yang bisa dikatakan sedikit tidak waras ini.Mereka
melakukan hal-hal yang memalukan dengan tanpa rasa malu sedikit pun.Tak ada
sehari pun mereka lewati tanpa adanya gelak tawa.
Semakin hari hubungan
mereka semakin dekat. Lydhiana sudah mendapat kelas yang tak pernah Ia
bayangkan sebelumnya. Sebuah kelas ajaib dengan makhluk ajaib.Walaupun mereka
mungkin sudah tak punya urat malu.Tapi satu yang pasti, di antara semua kelas,
kelas mereka lah yang paling sering mendapat nilai terbaik di setiap
pelajaran.Tak heran semua guru senang dengan kelas ini.Hal ini semakin
menguatkan keyakinan Lydhiana menuju universitas dambaannya.
***
"Eh lagi ngapain
mereka bikin lingkaran gitu? Yuk ikut yuk."Hana langsung bergabung dengan
teman sekelasnya yang sedang berkumpul di bagian belakang kelas. Ada 20 anak di
sana. Semua siswa kelas X IPA 2 kecuali Lydiana, Hana, Jane, dan Reina yang
baru masuk ke kelas.Tanpa perlu dipaksa Reina, Jane, dan tentunya Lydhiana
langsung mengikuti Hana bergabung dengan teman-temannya.
"Lagi ngapain
sih?Ikut doong."Celetuk Lydhiana.
Seketika beberapa dari
mereka berkata "Buka foruuum".Dengan perkataan itu lingkaran semakin
besar dan menyisakan tempat untuk mereka berempat.
"Kalau sudah duduk di
sini gak boleh kabur yaa."Seperti seorang pemimpin forum kali ini, Shella
menyampaikan peraturan.
"Eh tunggu dulu.Ini
ngapain?" Jane bersiap berdiri takut-takut makhluk ajaib ini akan
melakukan sesuatu yang aneh lagi.
"Kita cuma mau main
truth or dare kok. Rangga, mana botolnya?"Adit menjelaskan.Seolah
mengatakan kepada Jane bahwa tak ada yang perlu di takutkan.
"Ini nih."Rangga
meletakkan botol yang dimaksud Adit di tengah lingkaran.
"Oke.Kita mulai dari
Shella aja ya yang muter botolnya.Nanti bergiliran sesuai arah jarum jam untuk
giliran muter botolnya" kali ini Rangga yang berkata.
Shella memajukan badannya
dan memutar botol di depannya. Berputar... putar... dan akhirnya berhenti
di....
Reina.
"Oke.Shella.Kasih
pertanyaan."Adit bertitah.
"Oke... Reinaa. Mm...
Lo punya mantan gak di sekolah ini? Siapa?"Ucap Shella setelah beberapa
lama berpikir.
"Mmm.. gue dare aja
deh."
"Huuuuuuuu.Gak asik
aaah" Sontak teman temannya kecewa.Padahal mereka sangat ingin tau. "Yah Reina. Berarti emang ada nih
mantannya di sini. Yaudah deh. Dare nya apa nih temen-temen?"Zello
berkata.
"Hormat tiang bendera
aja" kali ini Tya yang menyahut.
"Jangan.Terlalu
gampang.Gue tau.Sapa abang kelas.Minta nomer hapenya."Kali ini Jane malah
menyudutkan temannya sendiri.
"Parah lo
Jane!"Reina kesal dengan usul Jane yang langsung diterima oleh
teman-temannya.
"Oke.Oke.Yuk keluar
cari mangsa.Hahaha" Rangga bersemangat.
"Wah gak beres kalian
nih. Gak beres."Reina yang tak terima tapi tetap saja berjalan ke luar
kelas.Karena kelas mereka sangat dekat dengan kantin.Tak sulit bagi mereka
menemukan kakak kelas. Karena mereka pasti berlalu lalang pada jam istirahat
seperti ini.
"Itu tuh, Rein.Yang
lagi jalan sendirian."Shella bersemangat. Reina, Jane, Hana, tak
terkecuali Lydhiana kaget melihat orang yang ditunjuk Shella. Ya, mereka
berempat tahu.Kakak kelas yang barusan ditunjuk itu adalah mantan Reina.Tanpa
diduga, Reina langsung berjalan dengan tak protes sedikit pun.Ia mendekati
kakak kelas itu dan langsung berbicara.
Makhluk-makhluk ajaib
lainnya melihat dari pintu kelas mereka.Mengintip berharap tidak ketahuan. Tak
ada yang bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Namun yang pasti Reina sudah
kembali dengan memperlihatkan handphonenya yang sudah ada nomor kakak kelas
yang barusan itu.
"Oh jadi nama abang
ganteng itu Bryan. Waah" Tya berkata dengan muka yang berseri-seri.Sepertinya
sudah lama Tya mengincar seniornya itu.Reina membelalakkan matanya.
"Jangan bilang lo
suka sama tuh orang?"Hana melihat Tya curiga.
"Siapa yang gak suka
coba?Gateng gitu."Tya menjawab dengan cuek."Bagi nomer handphonenya
dong, Rein" Tya kini memohon kepada Reina.Tentu saja Reina tidak menuruti
keinginan Tya dan berlalu begitu saja.
"Dia kenapa sih?Gak
asik banget."Tya menggerutu.
Jane, Hana, dan Lydhiana
hanya mengangkat bahu. Berpura-pura tidak tau.
Mereka kembali ke posisi
masing-masing.Kali ini giliran Lydhiana memutar botol.
"Oke."Lydhiana
bergerak maju dan memutar botol yang tergeletak pasrah ditengah lingkaran
mahkluk-makhluk ajaib ini. Dan...
"Rangga!"Semua
berseru.
"Rangga, siapa anak
kelas ini yang lo suka?"Dengan lancar Lydhiana mengucapkannya.Sepertinya
pertanyaan itu memang sudah dipikirkannya dari tadi agar tidak menghabiskan
waktu terlalu lama ketika gilirannya memberi pertanyaan tiba.
Rangga senyum.Lalu berkata
"Truth."Semua melihat ke Rangga.Tapi, mata Rangga hanya tertuju ke
sepasang bola mata."Lo."Lydhiana kaget mendengar jawaban itu.
Dilihatnya kebelakang
seolah bingung apa ada orang lain di belakangnya. Lalu Ia menunjuk hidungnya.
"Gue?"
"Iya."Rangga
masih senyum dan masih menatap mata Lydhiana terpesona.
"Ciyeeeeee"
makhluk-makhluk ajaib ini malah mengacaukan acara tatap-tatapan Rangga dan
Lydhiana.
"Yaudah yuk
lanjut."Dengan gampangnya Lydhiana berkata seperti itu.Semua anak
melihatnya tak percaya.
"Lyd, lo bahkan gak
nanggepin apa-apa?"Adit melihat tak percaya."Dia udah seberani itu
ngungkapin perasaannya ke elo."
"Dit.Udah
deh.Gapapa.Gue juga gak minta direspon.Kok malah lo nya yang sewot.Yuk
lanjut."Rangga menyembunyikan merah mukanya. Sakit memang rasanya, tapi Ia
tak ingin memperlihatkan sisi lemahnya. Ia kini malah bersikap seperti tak ada
yang terjadi barusan. Lydhiana yang memang tak peduli hanya mengangkat bahu dan
melanjutkan permainan.
***
Sebuah malam biasa.
Lydhiana pasti sedang duduk di meja belajar nya dan mengerjakan apa saja yang
bisa Ia kerjakan. Diliriknya handphone yang terletak di sampingnya.Tak ada
pesan.Tak ada pemberitahuan apapun.Lydhiana kembali fokus ke buku di depannya.
Terlintas di benaknya
kisah dahulu saat Rio masih mendekatinya. Masih jelas di benaknya bagaimana Ia
ingin marah rasanya saat Rio mengganggu proses belajarnya. Ia merindukan saat
itu. Sangat rindu.
Diliriknya lagi
handphonenya. Tapi sama, tak ada berita apapun. Akhirnya Lydhiana menyerah dan
sekarang mengambil handphonenya.Diaktifkannya mode wi-fi di handphone yang
langsung terhubung ke wi-fi rumahnya.
Hanya ada chat tak jelas
dari teman sekelasnya. Tak ada yang lain. Lydhiana pasrah.Iamengambil headset
dan memutar lagu. Berharap dengan itu Ia bisa melupakan
kerinduannya sekejap.
Tak jelas apa yang
membuatnya menjadi seperti ini. Ia juga tak yakin dengan perasaannya kepada
Rio. Ia hanya merindukan seorang teman. Teman yang biasanya selalu ada menemani
saat saat membosankannya.
Di bagian lain. Rio
memegang handphonenya yang sudah berisi sebuah pesan. Ibu jarinya hendak
menyentuh tombol send. Tapi selalu diurungkannya.Dilemparnya handphone
sembarangan.Kini dia benar-benar dilema. Apakah Ia akan menahan rasa gengsinya
atau membiarkan rasa rindu tak tertahan menguasai dirinya. Ia bingung. Kembali
diambilnya handphonenya. Tanpa sadar jarinya sudah menyentuh tombol send itu.
Rio yang masih berpikir tak sadar dengan apa yang barusan dia perbuat. Hingga
Ia terkaget dengan sebuah getaran di handphonenya. Ternyata sebuah pesan
balasan dari Lydhiana yang membalas pesan sebelumnya.Masih tak
percaya.Dilihatnya lagi isi pesan itu. Kemudian baru Ia sadar bahwa Ia baru
saja mengirim pesan ke Lydhiana. Saat itu juga untuk pertama kalinya Rio
mengutuk perkembangan teknologi yang sudah menemukan handphone layar sentuh.
"Hai. Lagi apa di
sana?"Begitu pesan yang ditulis Rio.Ia langsung menyesali perbuatannya.
"Lagi rindu
seseorang."Balasan yang membuat Rio berharap-harap cemas.Apakah orang itu
dirinya atau bukan.
Begitulah malam ini
dilalui Lydhiana.Buku-buku yang tadi menemaninya kini hanya menatap Lydhiana
sedih. Handphone dan pesan dari seseorang di sana lebih menyenangkan dari pada
mereka para buku.
Seperti sadar akan
sesuatu. Lydhiana tak bisa kehilangan Rio.Ia ingin Rio tetap di sisinya. Dengan
status sebagai sahabat.Hal sederhana yang diinginkan Lydhiana. Tentu saja tak
sama dengan Rio yang berharap lebih.
Hingga Lydhiana membahas
status mereka.Suasana yang awalnya menyenangkan tiba-tiba berubah serius.
"Rio. Kita sahabatan
yuk."Seperti sebuah lamaran.Hanya saja kali ini adalah lamaran yang tak
pernah ingin didengar oleh satu pun lelaki yang mencintai seorang
perempuan.Sebuah lamaran persahabatan yang lebih mirip dengan penolakan cinta.
Seketika senyum Rio yang
dari tadi tidak bisa ditahan kini memudar.Ia sedih. Tak pernah Ia menginginkan
kata-kata itu terucap dari Lydhiana. Baginya lebih baik berhubungan tanpa
status dibanding harus mematahkan harapannya dengan pernyataan persahabatan.
Sedih di satu sisi, Rio
kehilangan pengharapannya untuk mendapat cinta dari Lydhiana. Sedangkan
Lydhiana baru saja mengutarakan pengharapan agar Rio akan menjadi sahabatnya.
Pengharapan agar Rio tetap di sisinya.
Keadaan yang sangat
membingungkan.Rio hanya bisa pasrah dan berkata "Baiklah."Tak bisa
menolak.Karena dia juga tak ingin menjauh dari Lydhiana.
Sebuah malam biasa yang
akhirnya berubah menjadi malam penolakan bagi Rio. Sebuah malam yang akan
selalu dikutuknya. Sebuah penyesalan dengan jempolnya yang sudah sembarangan
menyentuh tombol send. Bersambung...
***