Minggu, 23 Februari 2014

Love Hurts -Part 3

Keesokan hari di sekolah.Lydhiana berusaha mencari-cari keberadaan Rio.Hanya ingin menghilangkan sedikit rindu kepada sahabatnya itu.Tanpa mempersiapkan alasan yang jelas, Lydhiana berjalan ke arah kelas Rio.XI IPA 4 yang letaknya agak dibelakang dan lumayan jauh dari kelas Lydhiana. Tak ada alasan lain yang bisa dikarangnya jika seseorang bertanya mengapa dia berjalan ke sana. Di sebelah kelas XI IPA 4 tak ada ruangan umum lainnya.Hanya ada kelas XII dan kelas akselerasi.Entah mengapa sekolah meletakkan satu satunya kelas XI di bagian ini.
Tak ada pilihan alasan selain hanya berkata ingin menemui teman di sana. Lydhiana terus berjalan. Saat Ia sudah berada di depan kelas Rio, tak ada wajah yang Ia cari. Sedaritadi saat Ia masih diperjalanan juga Ia tak dapat melihat Rio dikerubungan teman-teman Rio. Rasa penasaran yang membabi buta menimbulkan keberanian Lydhiana untuk bertanya kepada teman sekelas Rio.
"Mm mau tanya dong. Rio nya tadi sekolah gak?"Begitu katanya pada seorang siswa perempuan yang baru saja keluar dari kelas Rio.
"Rio udah seminggu masuk rumah sakit karena DBD.Kemarin kami baru aja ngebesuk dia."Sebuah informasi yang sangat mengejutkan bagi Lydhiana. Bahkan Ia tak tau keadaan seseorang yang Ia anggap sebagai sahabatnya. Ia merasa dirinya bukanlah sahabat yang baik bagi Rio.
"Trus keadaannya gimana sekarang?"Lydhiana tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
            "Parah.Dia koma udah 3 hari. Eh nama lo siapa ya?"Gadis itu seperti ingin memastikan sesuatu.
"Oiya. Gue Lydhia, Lydhiana." Gadis itu terkejut mendengar nama itu. Seperti sadar akan sesuatu. "Ada apa ya?"
"Lo lebih baik segera besuk dia ke rumah sakit. Selama koma dia cuma manggil-manggil nama lo."Gadis itu pun memberitahu alamat rumah sakit dimana Rio dirawat.
Lydhiana berbalik menuju kelasnya.Air matanya ingin tumpah rasanya.Ia takut sesuatu akan terjadi pada Rio. Sesuatu yang sangat tidak ingin didengarnya.
Setelah sampai di kelas. Tanpa pikir panjang,  Lydhiana langsung mengambil tasnya dan meminta izin dari sekolah. Dengan aktingnya yang sangat baik, akhirnya Lydhiana bisa mendapat izin pulang dengan berkata bahwa dia sakit perut. Lydhiana yang membawa motor ke sekolahnya segera menstarter motornya dan berjalan ke rumah sakit.
Pikirannya melayang selama perjalanan. Sekuat apapun Ia mencoba fokus, tetap saja Ia tak bisa menyingkirkan pikiran-pikiran buruk yang mendatanginya.
***

Berselang seperempat jam dari sekolah, Lydhiana sudah sampai di rumah sakit yang disebutkan oleh teman sekelas Rio tadi. Segera Ia berlari menuju lift setelah bertanya dimana ruangan Rio di rawat.
Di sinilah Ia. Di depan sebuah pintu kamar rumah sakit. Menangis.Takut membuka pintu.Takut melihat rasa bersalahnya.Rasa bersalah akibat tak peduli sedikitpun dengan Rio dan malah bermain-main dengan Rangga.
Diingatnya malam saat Ia sangat merindukan Rio kemarin. Malam yang mungkin saja Rio sedang menahan sakit dan memanggil namanya. Namun apa yang dilakukannya? Ia malah asik berbalas pesan dengan Rangga. Ia malah asik tertawa-tawa kemarin malam. Tangannya tanpa sadar sudah memukul-mukul kepalanya sendiri. Merasa hal itu dapat menghukumnya atas dosa yang telah Ia diperbuat.
            Tiba-tiba pintu di depannya terbuka.Seorang wanita paruh baya yang bisa dipastikan adalah Ibunda Rio. Terkaget melihat seorang gadis menangis di depan pintu. "Kamu temannya Rio?Mau besuk Rio ya?Yaudah masuk aja.Tante kebetulan ada keperluan."Ibunda Rio berjalan keluar.Kini Lydhiana menjejaki langkah pertamanya.
Dilihatnya Rio yang selalu ceria terkapar tak berdaya di atas kasur.Senyum yang biasa dilihat Lydhiana tak ada.Kini Lydhiana mendekat dan duduk di samping kasur Rio.Masih menangis.Didengarnya suara Rio samar-samar.Seperti memanggil-manggil.Ia menggigau.
"Ly..ly.."Tangis Lydhiana makin menjadi-jadi.Ia kini menggenggam tangan Rio. Digenggamnya tangan Rio berharap dengan itu Rio bisa tau bahwa ada Lydhiana di sisinya.Masih terisak, Lydhiana memperhatikan lagi wajah Rio.Pucat, tak ada cahaya lagi di mukanya. Seketika itu Lydhiana sadar betapa Ia merindukan wajah cerah Rio. Betapa Ia merindukan gelak tawa dan senyum indah yang terukir di wajah lelaki yang pernah ditolaknya dan kini malah menjadi sahabatnya.
Lydhiana rindu Rio.Ia rindu gelak tawa Rio. Ia rindu senyum indah Rio. Ia rindu tatapan indah mata Rio. Semua hal yang dirindukannya dan tak dapat Ia lihat saat ini. Lydhiana semakin terisak.Ditenggelamkan tangisnya di tangan Rio.Ia menunduk. Menangis hingga terlelap.
***

Sudah tiga hari Lydhiana tidak pergi ke sekolah. Tiga hari itu juga Ia sudah menemani Rio yang sudah sadar dari koma. Rio yang pucat masih berusaha menarik bibirnya membuat senyum.Seolah mengatakan kepada Lydhiana tak ada yang perlu ditakutkan. Seolah berkata bahwa Ia akan baik-baik saja.
Lydhiana kini sedang mendorong kursi roda Rio. Mereka baru saja berjalan ke taman. Hanya untuk menyegarkan pikiran Rio sejenak setelah muak dengan ruangan putih dan bau antiseptik.Ringtone handphone Lydhiana berbunyi. Sebuah nama tertulis di sana. Hana.Segera Lydhiana menerima panggilan itu.
"Lyd! Lo dimana? Reina, Lyd!!"Terdengar suara Hana yang sangat panik dari ujung telepon.
"Gue lagi di Rumah Sakit Citra nemenin Rio.Kenapa?"Pikiran Lydhiana mengawur kemana-mana.Ia memikirkan hal terburuk apa yang terjadi pada Reina.
"Reina pingsan, Lyd.Ceritanya panjang.Kebetulan banget gue emang mau ke Rumah Sakit Citra. Lo tetap di situ. 10 menit lagi gue nyampe."Dengan kalimat itu Hana menyelesaikan panggilannya.Lutut Lydhiana geli.Ia ingin jatuh rasanya. Rio hanya menatap dengan bingung. Dilambaikan tangannya ke depan wajah Lydhiana berharap itu bisa menyadarkannya.
"Eh? Oiya Rio kita balik ke kamar kamu aja ya."Lydhiana kembali mendorong kursi roda Rio.
"Lah kan emang kita udah mau ke kamar lagi, Lyd.Ada apa?" Rio sangat ingin tahu apa yang terjadi.
"Reina pingsan.Setelah mereka ke sini aku tinggal kamu gak papa ya."Mereka kini sudah berada di kamar rawat Rio.Rio kembali ke kasurnya.
"Lyd.Kamu tau.Aku selalu sayang kamu.Walau kamu cuma nganggep aku sahabat.Gapapa buat ku.Aku bakal tunggu kamu kok.Lyd? Hei Lyd!"Lydhiana sadar dari lamunannya.Ia tak dapat menangkap dengan pasti yang disampaikan Rio. Ia hanya mendengar bahwa Rio akan menunggunya.
"Nunggu buat apa, Yo?"Lydhiana kini bingung.
"Mm gak ada.Lupain aja."Lydhiana hanya mengangguk.Handphone Lydhiana kembali bergetar.Sebuah panggilan dari Hana.
"Edeilweis nomer 5.Sekarang!"Lydhiana sudah berdiri sekarang.Rio hanya bisa menatap nanar.Ia ingin Lydhiana tetap di sampingnya. Entah keegoisan dari mana yang melandanya.Tapi tetap.Ia tak ingin Lydhiana pergi saat ini. Diraihnya tangan Lydhiana seolah berkata jangan pergi.
"Aku pasti bakal balik kok, Yo.Kamu tunggu dulu ya.Aku pasti balik.Cuma sebentar kok."Rio melonggarkan genggamannya.Membiarkan Lydhiana pergi."Aku pasti balik, Yo.Pasti."
Rio terdiam.Ia menunduk. Air matanya mengalir. Entah apa yang menjadikannya sangat cengeng seperti ini. Satu hal yang pasti. Ia hanya ingin Lydhianatetap berada di sisinya saat ini.
***

"Jane! Hana!" Lydhiana memanggil teman mereka yang sudah menunggu di depan ruang rawat Reina.
"Akhirnya lo dateng juga Lyd."Hana lega.
"Ada apa?Kok bisa gini?" Lydhiana sangat ingin tahu apa yang terjadi.
"Tadi...
***

Reina memasuki kelas XI IPA 2 yang kini sangat kosong. Wajar, teman-temannya yang lain sedang berada di labor bahasa. Reina melupakan buku bahasa inggrisnya dan berniat mengambilnya di kelas. Saat Ia menuju mejanya. Sebuah kertas tertulis pesan singkat terletak di atas mejanya."Temui aku di labor kimia sekarang.Ada hal penting yang harus aku bilang ke kamu.-Bryan."Sebuah pesan yang kini menggiring Reina ke labor kimia.
Lorong kelas sangat sepi. Memang sekarang adalah jam pelajaran. Jadi tak ada siswa yang berkeliaran di luar kelas.Reina tetap berjalan menuju labor kimia. Sesampainya di sana. Ia langsung membuka pintu labordan...
BRUK!!!
Sebuah beda berat jatuh tepat menimpa kepala Reina. Ia terjatuh, kehilangan kesadarannya.
***

"Yaampun Reinaa! Siapa sih yang tega banget gitu?" Lydhiana kini mengasihani nasib malang temannya itu.
            "Han, coba deh lo pikir.Pas kita di labor bahasa.Siapa aja coba yang gak dikelas?"Jane mencoba menerka-nerka.
"Lydhiana, Zello lagi lomba basket, Reina yang mau ngambil buku, dan..."Tiba-tiba Hana berhenti ditengah pembicaraannya."Gak mungkin, Jane."Kini Hana menggelengkan kepala nya.
"Lo mikir hal yang sama kan sama gue. Iya, Han. Pasti dia pelakunya. Siapa lagi coba yang sirik sama Reina?" Sepertinya Jane dan Hana memiliki satu nama untuk dicurigai.
"Kalian ngomong aja berdua.Gak ada orang di sini nih. Iya gak ada orang.Cuma kalian berdua"Lydhiana yang tak tau apa-apa merasa dianak tirikan oleh kedua sahabatnya ini.
"Lyd, satu-satunya orang yang gak ada di labor bahasa waktu itu cuma Tya, Lyd! Lo inget gak sih pas hari kita main truth or dare? Tya kan sempet minta nomer Bryan. Menurut gue Tya suka sama Bryan. Karena ngeliat Bryan sama Reina jadian, dia kesel. Berniat buat bikin Reina celaka!"Jane menjelaskan sisi pemikirannya.Hana hanya mengangguk tanda setuju.
"Kalian jangan asal tuduh deh.Nanti dituntut loh atas pencemaran nama baik."Tak dapat dipungkiri, Lydhiana sebenarnya juga setuju dengan analisis Jane tadi.
"Siapa lagi coba.Tya cabut sebelum pelajaran bahasa inggris.Hari ini memang cuma labor kimia yang gak ada isinya.Pelajaran pertama dia masuk kok.Gue yakin Lyd."Hana menguatkan gagasan Jane barusan.
"Yaudahlah, masalah itu kita atasi sehabis Reina sembuh.Sekarang kita berdoa untuk kebaikan Reina aja dulu."Lydhiana berusaha bersikap netral dan tidak emosinal sekarang.
Karena terlalu sibuk menjaga Reina.Lydhiana malah lupa dengan Rio.Ia lupa dengan janjinya yang akan kembali. Ia lupa dengan kesakitan Rio yang dianggapnya sudah membaik. Padahal Rio masih merasakan sakit yang tak tertahan.Ia hanya berusaha terlihat lebih ceria di depan Lydhiana. Ia tak ingin Lydhiana sedih.
***

Esoknya.Lydhiana yang masih berada di ruang rawat Reina terbangun berkat ringtone handphonenya yang tak berhenti berbunyi.Nama Rio terpampang di layar handphonenya.Segera diterimanya panggilan itu.
"Ada apa, Yo?" Lydhiana berusaha menormalkan suaranya dan berusaha agar tidak terdengar seperti Ia memang baru bangun dari tidurnya.
"Ini betul nak Lydhiana? Temannya Rio? Segera ke kamar Rio."Sebuah suara milik seorang wanita paruh baya yang didengarnya.Lydhiana segera berlari menuju kamar Rio.
Dilihatnya seorang lelaki berpakaian putih menarik selimut Rio ke wajahnya.Sebuah pemandangan yang seketika membuat Lydhiana meneteskan air matanya.
"Gak.Gak mungkin.Tante.Rio kenapa?Rio kedinginan ya?Sampe harus ditutupi selimut gitu. Iya kan, Tan! Jawab aku, Tan." Air mata ibunda Rio tumpah. Ia menggeleng.
"Sabar ya."Lydhiana terhenyak.Di bukanya selimut yang sebenarnya hanyalah kain putih yang menutupi muka Rio. Sebuah wajah pucat pasi dengan senyum yang Ia lihat. Tangisnya makin menjadi-jadi.Rio telah pergi untuk selamanya.
***

Waktu berjalan begitu saja.Kini Lydhiana sudah berada di pemakaman.Hingga selesai dikuburkan.Lydhiana masih saja duduk ditepi pusara.Ia menatap nanar ke batu nisan di depannya. Kini Ia punya sebuah janji yang tak akan pernah bisa Ia bayar. Sebuah janji bahwa Ia akan kembali menemani Rio. Air matanya tak dapat dibendung.Ia menangis lagi.
Semua keluarga dan teman Rio yang tadinya ikut menguburkan kini sudah berjalan menjauh.Hanya Lydhiana dan ibunda Rio yang masih berada di sini.
Ibunda Rio menyodorkan handphone Rio.Menunjukkan sebuah rekaman suara.Lalu pergi meninggalkan Lydhiana.Diputarnya rekaman itu.Suara Rio yang sangat dirindukannya.
"Aku sayang kamu.Aku sayang kamu.Aku sayang kamu.Aku sayang kamu.Lydhiana.Kembali lah.Kembali lah.Jika tidak, susulah aku nanti di surga.Jika memang kamu tak bisa melihat ku lagi di dunia.Temuilah aku nanti di surga. Tepati janji mu bahwa kamu akan kembali kepada ku. Kembali lah kepada ku.Lydhiana. I love you, now and forever."
Lydhiana menangis semakin menjadi-jadi.Seseorang memperhatikan dari jauh.Rangga.Berjaga-jaga jika saja Lydhiana sudah tak kuat menahan tangisnya.
"Maafin aku, Yo! Maaf! Aku sayang kamu.Aku cinta kamu!" Kembali Ia terisak. Menangis hingga langit terlelap.
* * *

Begitulah sejatinya manusia. Mereka akan menyadari bahwa mereka memiliki sesuatu tepat pada saat mereka kehilangan sesuatu itu. Sadarilah apa yang kamu miliki sekarang. Syukuri apa yang kamu miliki. Sayangi apa yang kamu miliki. Hingga tak ada penyesalan saat kamu kehilangannya.


Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar